BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia
memiliki kemampuan untuk mempertahankan suhu tubuh yang relative konstan
walaupun kondisi lingkungan sangat beragam. Sebagai amkhluk homeoterm atau makhluk berdarah panas,
menusia memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi, baik untuk menyesuaikan diri
terhadap lingkungan maupun untuk mengubah lingkungan mereka. Perubahan suhu
tubuh merupakan maslah keseimbangan suhu tubuh, dengan faktor fisik, serta
kemampuan fisioligis, yang memengaruhi produksi atau kehilangan panas. Dinamika
perubahan suhu tubuh harus benar-benar dipahami untuk merencanakan perawatan
yang efektif untuk semua kelompok usia. Namun, penuaan dapat merubah beberaoa
dinamika ini. Kemampuan termoregulasi berubah sepanjang hidup, sebagai fungsi
maturasi, laju metabolik, dan kesehatan relatif system peredaran darah dan
sistem saraf. Lajiu metabolik yang lambat dan insiden penyakit yang lebih
tinggi pada usia lanjut meningkatkan risiko perubahan suhu inti tubuh.
Ketidakcakapan fisik dan perilaku juga dapat menimbulkan perubahan suhu pada
lansia, yaitu dengan membatasi kedali pribadi terhadap lingkungan mereka.
Akibatnya, sekuela kegagalan mekanisme termoregulasi pada lansia dapat secara
serius memengaruhi hasil pada pasien.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Termoregulasi
Termoregulasi adalah Suatu pengaturan
fisiologis tubuh manusia mengenai keseimbangan produksi panas dan kehilangan
panas sehingga suhu tubuh dapat dipertahankan secara konstan.
Keseimbangan
suhu tubuh diregulasi oleh mekanisme fisiologis dan prilaku. Agar suhu tubuh
tetap konstan dan berada dalam batasan normal, hubungan antara prodksi panas
dan pengeluaran panas harus dipertahankan. Hubungan diregulasi melalui mekanisme
neurologis dan kardiovaskular. Perawat menerapkan pengetahuan mekanisme kontrol
suhu untuk meningkatkan regulasi suhu.
Panas tubuh diproduksi terus-menerus sepanjang hidup
melalui pengeluaran energy dalam reaksi metabolik seluler dan pembakaran
zat-zat makanan yang telah dicerna. Friksi jaringan akibat darah sirkulasi dan
kontraksi otot menghasilkan panas tambahan. Metabolism seluler basal, proses
produksi “api kehidupan” menurun seiring penuaan, menyebabkan penurunan
kemampuan lansia dalam menghasilkan panas. Laju metabolik melambat pada usia 80
tahun, penurunan tersebut signifikan (Reuler, 1984). Kadar panas yang sedikit pad lansia memaksa lansia
mengeluarkan energi selama kedaruratan suhu. Berbeda dengan individu yang lebih
muda, yang tetap hangay saat terpajan dingin dengan menyimpan atau meredistribusi
panas tubuh yang ada, lansia harus menggunakan aktivitas musculoskeletal untuk
menghasilkan panas atau mencari sumber eksternal agar meras hangat. Jika
kerusaka fisiologis atau perilaku menggangu penggantian panas, resiko
hipotermia meingkat. Kekhawatiran terhadap kehilangan panas meningkat dalam
area keperawatan gereatrik; namun, perhatian yang sama harus diberikan terhadap
masalah pemanasan berlebihan (Kolanowski dan Gunter, 1983). Penuaan, penyakit,
dan terapi obat menyebabkan deficit air dalam tubuh dan aktivitas vasomotor,
sehingga kemampuan untuk melepas panas tubuh jadi terhambat. Masalah
pemanasahan yang berlebihan dalam cuaca panas meningkat ketika lasia tidak
mampu membeli AC dan tinggal di area yang membuat mereka merasa tidak aman bila
membiarkan jendela terbuka.
Tida kondisi yang sering kali menjadi hasil perubahan
keseimbangan suhu adalah hipotermia, hipertermia, dan demam, yang masing-masing
menunjukkan penyimpangan suhu tubuh normal, tetapi tidka dapat dideskripsikan
denagn jelas hanya denagn berpatokan pada penyimpangan suhu tubuh normal saja.
Selain itu, istilah ini tidak mennetukan faktor penyebab.”faktor yang
berhubungan” harus membedakan faktor yang menghubungkan hipotermia atau
hipertermia dengan kegagalan mekanisme pengendalian atau berbagai faktor
lingkungan. Selain itu, demam perlu didefinisikan lebih jauh karena tidak
selalu terkait dengan penyebab infeksius. Aktivitas demam sering kali
disebabkan oleh obat, produk darah, atau zat yang menginduksikan respon
sistemik pejamu. Intervensi dapat menjadi lebih tepat dan spesifik jika faktor
yang berhubungannya (penyebab) diidentifikasi. Walaupun asal demam masih belum
diketahui, terdapat sekuela yang dapat diperkirakan yang berkaitan denagn air
yang diperlukan serta pengeluaran kalori yang menunjukkan pertimbangan
penegakan diagnosis.
1. Hipotermia
Istilah hipotermia
secara harfiah bermakna “panas” yang rendah.” Disebagian besar tatanan, istilah
tersebut digunakan untuk mendeskripsikan kondisi ketika suhu tubuh turun
drastic sampai di bawah 350C dengan keparahan dari ringan sampai
berat. Hipotermia dapat terjadi pada setiap individu atau situasi ketika
kehilangan panas melebihi kemampuan tubuh dalam menghasilkan atau penyimpaan
panas. Predisposisi hipotermia pada individu lansia sangat banyak karena
kesempatan kehilangan panas sering muncul bersamaan penurunan respon menghasilkan/menyimpan
panas (Ballester dan Harchelroad, 1999). Dua situasi yang cenderung menyebabkan
hipotermia incidental selama cuaca dingin adalah: (1) individu yang sehat terpajanan
dalam waktu yang lama pada kondisi lingkungan yang dingin atau (2) individu
yang mengalami gangguan kemampuan termoregulasi terpajan dengan suhu ruangan
tanpa perlindungan. Individu lansia yang mengalami beberapa tingkat kerusakan
termoregulasi dapat berisiko mengalami kedua situasi tersebut jika ia mengalami
pembedahan, jika ia mengalami cedera akibat jatuh atau mengalami kecelakaan,
atau tersesat atau terjebak ditempat dingin. Pada suhu otak di bawah 200
C, kemampuan termoregulasi ditekan dan individu mengalami poikilotermia atau mengalami penurunan kemampuan termoregulasi.
Poikilotermia berpotensi mematikan jika tidak ditangani karena suhu terus
menurun di bawah tingkat yang tidak sesuai denagn kehidupan. Setiap fungsi
vital tubuh berisiko ketika pasien hipotermia tidak ditolong, tetapi distritmia
jantung dan supresi pernapasan merupakan bahaya yang pertama muncul.
2. Hipertermia
Hipertermia merupakan
akiabt disfungsi termoregulasi atau kegagalan mekanisme pendinginan
tubuh normal. Cedera pada hipotalamus, dehidrasi, atau panas lingkungan yang
sangat tinggi dapat menyebabkan hipertermia. Pasien lansia khususnya rentan
terhadap heatstroke, kondisi yang
menggangu aktivitas regulasi hipotalamus. Ketidakmampuan berkeringat dan
kehilangan panas melalui vasodilatasi dapat cepat mengakibatkan kematian,
kecuali diobati. Saat suhu meningkat lebih dari 400 C, bahay
kerusakan ireversibel pada otak
meningkat. Individu yang memiliki riwayat gangguan neurologis, penggunan
alkohol, dan gangguan oabt ayng mengandung atropine bahkan lebih rentan
terhadap hipertermia. Hipertermia harus ditangani dengan pendinginan aktif dan
penggantian cairan oelh pemberi asuh. Semakain berat.
3. Demam
Demam, atau hiperpireksia, terjadi ketika zat yang
memicu reaksi sistemik masuk ke dalam tubuh, yang disebut respon fase akut. Zat yang menimbulkan demam, atau pirogen,
meliputi orgasme infeksius, obat-obatan toksik, senyawa kimia, produk darah,
sel neoplastik, dan benda asing. Akibat pelepasan pembawa pesan seluler yag
disebut sitokin, pirogen endogen
mebentuk rantai rekasi di dalam tubuh. Demam berbeda denagn hipertermia. Pada
demam, mekanisme termoregulasinya tetap utuh dan sangat utuh. Mekanisme
berkeringat dan vasodilator berfungsi normal, tetapi pada sel point baru yang lebih tinggi. Kenaikan suhu tubuh merupakan
salah satu respon demam yang kompleks. Penrunan awal kadar neutrofil diikuti
oleh neutrofilia drastic dalam waktu sekitar satu jam. Kenaikan yang tajam ini
maksimal dalam enam jam dan berlangsung selama hamper 24 jam (Cooper, 1995).
B.
Faktor-Faktor
Yang Berhubungan/Etiologi Perubahan Suhu Tubuh
Keseimbangan suhu didefinisikan sebagai keadaan yang
dinamis, ekuilibrium yang rapuh ketika kecepatan panas yangdihasilkan tubuh
ekuivalen dengan kecepatan kehilangan panas ke lingkungan. Perubahan suhu tubuh
merupakan penyebab dan akibat masalah kehilangan panas atau produksi panas,
sehingga penting untuk segera mengidentifikasi faktor yang berhubungan. Seiring
penuaan, perubahan fisiologis cenderung memengaruhi produksi, distribusi,
dankonservasi panas. Perubahan fisik pada densitas tubuh, kandungan air, dan
insulasi lebih jauh dapat menimbulkan masalah pertukaran panas. Gabungan faktor
perilaku dan faktor lingkungan mengancam keseimbangan suhu ketika individu
lansia tidak dapat membebaskan diri dari atau mengubah situasi ketika mereka
terpajan denagn suhu ekstrem.
1. Mekanisme Kendali
Termoregulasi adalah pengaturan produksi dan
pengeluaran panas yang dibutuhkan untuk mempertahankan tubuh pada tingkat yang
optimal untuk melakukan fungsi seluler. Pada manusia, mekanisme ini merupakan
rentang yan relative sempit, yaitu (1) cukup hangat untuk untuk meningkatkan
aktivitas kimiawi seluler dan transmisi saraf; (2) bersuhu cukup rendah, yang
aman bagi jaringannya yang rentan, misalnya, otak; dan (3) cukup efisien untuk
dioperasikan denagn pengeluaran energy minimum. Untuk kebanyakan individu
dewasa muda, suhu tubuh dipertahankan dalam rentang 36,50 C samapi
dengan 37,50 C dengan pengendalian termostatik yang cermat.
2. Rentang Eutermia
Eutermia, kondisi suhu tubuh “normal” atau suhu tubuh
yang biasanya, bukan tingkat tunggal, tetapi merupakan rentang suhu yang
berubah-ubah sepanjang hari. Sementara itu, 37,50 C mencerminkan
keadaan eutermia untuk banyak individu, individu sehat lain akan memiliki
rentang di atas atau di bawah nilai tersebut.
3. Respon termoregulasi
Intensitas dan energy yang dikeluarkan dalam respon
penghangatan atau pedinginan terhadap perubahan atau ancaman keseimbangan suhu
sama. Vasokontriksi dapat sementara selama panjanan terhadap embusan udara dan
sering kali menyebabkan sedikit perubahan kecil dalam kebutuhan terhadap
oksigen. Apabila penyimpangan suhu yang dirasakan menetap walaupun vasomotor
berupaya mengalirkan darah kejaringan yang lebih dalam dan lebih hangat, respon
menggigil terstimulasi. Menggigil menghabiskan eergi metabolik yang sama besar
denagn mengendarai sepeda atau menyekop salju (Newstead, 1987).
4. Respon Perilaku Terhadap Rasa Perubahan Suhu
Respon perilaku yang tepat terhadap perubahan suhu
lingkungan mencakup tindakan, seperti memilih jenis busana sesuai musim, minum
air dingin atau air hangat, pindah ke lokasi lain, atau mengatur thermostat
ruangan. Kemampuan ini membutuhkan kemampuan fungsi sensorik dan motorik.
Perubahan dimensia ini sering terjadi setelah stroke atau peristiwa neurologic
lain, tetapi dapat juga merupakan fungsi penuaan (Never et al.,1995). Pengaruh
penuaan pada kemampuan merasakan suhu dicatat oelh beberapa penenliti, dengan
bukti penurunan persepsi suhu pada lansia (Natsume, Ogawa, Sugenoya, Ohnishi,
dan Imai, 1992). Penuruna aktual pembedaan suhu di kulit telah terbukti, dengan
kebutuhan stimulasi suhu yang lebih besar untuk dapat memunculkan respon
perilaku (Taylor, Allsopp, dan Parkes, 1995). Pada saat yang sama, lansia
cenderung memilih suhu lingkungan yang lebih hangat pada semua musim (Natsume
et al.,1992).
C.
Faktor
Risiko
Faktor yang berperan terhadap perubahan keseimbangan
suhu sering kali dapat dapat ditangani melalui intervensi keperawatan, walaupun
terdapat kondisi patologik atau konstitusional yan tidak dapat dikendalikan
pemberi asuhan. Situasi yang membuat pasien berisiko mengalami pemanasan atau
pendinginan berlebihan, dapat berupa masalah neuroregulasi dan tidak dapat
diintervensi secara langsung. Namun, pada banyak kasus, keseimbangan suhu dapat
diperbaiki dan dipertahankan melalui pengaruh aktif terhadap mekanisme
pertukaran panas melalui upaya terpeutik dan modifikasi lingkungan. Sebagai
contoh, risiko kelelahan akibat panas dan heatstroke
dapat dihubungkan dengan dehidrasi dan pajanan terhadap panas yang berlebihan.
Kondisi ini dapat terjadi bersamaan dengan ketidakmampuan pasien untuk menelan
atau meraih air minum. Selama pembedahan, kehilangan panas yang tidak disengaja
biasanya berkaitan dengan supresi aktivitas neuromuskular akibat obat dan suhu
lingkungan yan grendah. Pada setiap situasi tersebut, faktor yang berhubungan
dalam konteks keperawatan adalah faktor yang dapat dicegah atau dibalik. Pada
demam, fase tersebut dapat menentukan diagnosis dan penanganannya. Selama fase
menggigil, misalnya, perubahan keseimbangan suhu berkaitan dengan rasa
kehilangan panas, sekunder akibat set
point termoregulasi yang lebih tinggi. Intervensi yang tepat adalah
melindungi dan mempertahankan ekstremitas hangat, sementara membiarkan panas
yan berlebihan keluar dari batang tubuh dan kepala. Intervensi ini samasekali
tidak berhubungan dengan suhu tubuh, melainkan berkaitan dengan ancaman
terhadap keseimbangn suhu: semua faktor yang memengaruhi pertukaran dan
produksi panas. Jika demam dikaitkan dengan deficit cairan, ancaman terhadap
keseimbangan suhu dapat “berhubungan dengan deficit volume cairan”. Penggantian
cairan bertujuan meningkatkan perfusi sirkulasi ke kulit dan jaringan
superficial untuk melepas panas.
D. Asuhan Keperawatan
1.
Pengkajian
Keperawatan
Tujuan perawatan pada lansia adalah
untuk mengoptimalkan kesehatan mereka secara umum, serta
memperbaiki/mempertahankan kapasitas fungsionalnya.
Keduanya
bertujuan agar :
1.
Lansia dapat tetap dipertahankan
dirumahnya untuk mengurangi biaya perawatan
2.
Meningkatkan kualitas hidupnya
sehari-hari
3.
Mengoptimalkan kapasitas fungsionalnya
Pengkajian
yg menyeluruh pada lansia yg dilakukan oleh perawat meliputi :
1.
Mengidentifikasi setatus kesehatannya
(anamnesis dan pemeriksaan fisik)
2.
Status gizi
3.
Kapasitas fungsional
4.
Status psikososial
5.
Masalah khusus lainnya yg dihadapi
secara individual
a. Anamnesis
Dalam
melkukan anamnesis harus secara akurat dan “ up to date”, termasuk pula
mengenai bagaimana persepsi lansia tentang kesehatan dirinya sendiri. Anamnesis
harus menjadi dasar bagi tindakan skrining yg akan diusulkan. Anamneis menjadi
dasar bagi rencana manajemen keperawatannya. Kebanyakan para lansia dapat
menyuguhkan anamnesis yg baik, tetapi tidak sedikit pula yg mengalami
hambatanuntuk berkomunikasi (misalnya akibat tuli, menurunnya fungsi
intelektual/pikun, menurunnya penglihatan) dimana dalam keadaan seperti ini
diperlukan bantuan kerabat untuk
memperoleh anamnesis yg akurat. Sebaliknya tak jarang pula keluhan mereka yg
beraneka ragam bisa membuat siperawat frustasi atau malah mengaburkan bahkan
tak terlaporkan.
Riwayat
masa lalu juga penting untuk membantu mendapatkan masalah kesehatan saat ini
dalam perspektif yg tepat. Penting pula
diperhatikan tentang riwayat pemakaian obat-obatan karena bila lansia diberikan
berbagai macam resep obat jarang memprotes bahkan juga sering mengobati dirinya
sendiri. Anamnesis dilakukan secara sistematis (dilakukan menurut sistem tubuh)
dengan tetap fokus pada keluhan utamanya
Tabel .1 Jenis keluhan pada lansia
menurut pendekatan sistemik
|
Sistem
|
Keluhan yg khas
|
|
Respirasi
|
Sesak nafas yg progresif, batuk yg menetap
|
|
Kardiovaskuler
|
Ortopnea, edema, angina, klaudikasio, palpitasi,
pusing, sinkop
|
|
Gastrointestinal
|
Sulit mengunyah, sulit menelan, nyeri perut, perrubaha
defekasi
|
|
Genitourinaria
|
Poliuri, urgensi, nokturia tak lampias, intermitten,
perlu usaha untuk pengosongan, inkontinensia, hematuri, pendarahan per
vaginam.
|
|
Muskuloskeletal
|
Nyeri lokal/difus, lumpuh/lemah lokal/difus, gangguan
sensitivitas
|
|
Neurologis
|
Gangguan penglihatan (sementara/progresif)
|
|
psikologis
|
Depresi, ansietas, agitasi, paranoid, pikun,
kebingungan.
|
b. Pemeriksaan fisik pada lansia
Tata
cara pemeriksaan fisik dilakukan sebagaimana halnya prosedur yg ditempuh dalam
kelompok usia lainnya. Namun dalam melakukan pengkajian fisik pada klien lansia
secara efektif memerlukan penilaian terhadap status kesehatannya secara tepat.
Seperti biasa pemeriksaan fisik mencakup inspeksi, palpasi,
perkusi dan auskultasi.
Pemeriksaan
fisik umum pada lansia ditujukan untuk
dapat mengidentifikasi keadaan umumnya dengan penekanan pada tanda-tanda vital,
keadaan gizi, aktivitas tubuh baik dalam keadaan berbaring atau berjalan.
Pemeriksaan fisik umum mencakup berbagai hal antara lain: penilaian status
mental, kesadaran, bahkan termasuk pula kondisi
kulit dan kelenjar getah
bening. Pemeriksaan dengan cara inspeksi,
palpasi, perkusi daan auskultasi dilakukan sesuai yg diperlukan.
Inspeksi
dilakukan menyeluruh, namun dengan cara terfokus, serta dilakukan dengan tidak
mengabaikan sikap perawat yg menghargai lansia, observasi yg menyeluruh
diarahkan pada hal-hal berikut :
1.
Membandingkan usia kronologis
terhadap usia sekarang
2.
Aspek gender, suku
3.
Perkembangan perawatan
4.
Kebersihan (cara berdandan)
5.
Ekspresi wajah, cara berbicara
6.
Pengamatan pada daerah kulit, dilihat
keriput/kerut-kerut, warna kulit keabu-abuan, kering dan rambut rapuh
7.
Gerakan melambat, menggunakan alat bantu
ambulasi dan memperlihatkan langka-langkah yg kaku
8.
Diamati pula perihal berat dan tinggi
badan, apakah sesuai, bentuk dan bagian-bagian tubuh apaka simetris
9.
Gejala seperti tremor, kontraktur, gerakan-gerakan
asimetris, posttur kaki, pergelangan dan jari-jari tangan
10.
Inspeksi didaerah leher apakah terdapat
otot-otot/ tendon yg menonjol, juga adanya redistribusi lemak
11.
Kesan umum tentang perkembangan badan,
apakah tampak terlalu tinggi/ terlalu pendek, terdapat penurunan massa otak
ataupun kegemukan
12.
Pengamatan terhadap kebersihan/ kerapian
antara lain: rambut, kuku atau bau badan
Pemeriksaan fisik sering kali perlu
dilengkapi dengan pemeriksaan laboratorium, agar dapat memberikan gambaran yg
tepat tentang status kesehatan atau penyakit/gangguan yg diderita saat ini.
Temuannya biasa berupa gambaran gambaran patologis yg multiple beserta
perubahan-perubahan akibat proses menua. Adapun pemeriksaan fisik menurut
sistem tubuh dapat menggunakan pola head
to toe, yaitu pemeriksaan dari ujung kepala sampai ujung kaki namun untuk
dapat mengarahkan pada berbagai gangguan yg sering terdapat pad lansia dapat
dianjurkan untuk mempedomani pemeriksaan terfokus pada beberapa sistem tubuh
seperti yg terdapat pada tabel.2
Tabel. 2 Temuan fisik pada
pengkajian head to toe
|
sistem
|
Temuan pemeriksaan fisik
|
|
Integumen
|
·
Lemak
sbkutan menyusut
·
Kulit kering
dan tipis, rentan terhadap trauma dan iritasi, serta lambat sembuh
|
|
Mata
|
Arcus senilis, penurunan visus
|
|
Telinga
|
Pendengaran berkurang yg selanjutnya dapat berakibat
gangguan bicara
|
|
Kardiopulmonar
|
·
Curah
jantung berkurang serta elastisitas jantung dan pembuluh darah berkurang,
terdengar bunyi jantung IV (S4) dan bising sistolik, kapasitas vital paru,
volume ekspirasi, serta elastisitas paru-paru berkurang
·
Walaupun tak
ada kelainan paru namun dapat terdengar ronki basal
|
|
Maskuloskeletal
|
·
Massa tulang
berkurang(lebih jelas pada wanita), jumlah dan ukuran otot berkurang
·
Massa tubuh
banyak yg tergantikan oleh jaringan lemak yg disertai pula oleh kehilangan
cairan
|
|
Gastrointestinal
|
Mobilitas dan absorpsi saluran cerna berkurang, daya
pengecap dan produksi saliva menurun
|
|
Neurologikal
|
Rasa raba berkurang, arm swing, langkah menyempit dan pada pria agak melebar. Selain
itu terdapat potensi perubahan pada status mental
|
1)
Pemeriksaan fisik umum
1.
Kesadaran
Dalam
kaitan ini klien/pasien dapat menunjukkan tingkat kesadaran baik (tak ada
kelainan/ gangguan kesadaran), atau keadaan umum pasien baik. Keadaan umum
tanpak sakit (ringan, sedang atau berat). Klien bereaksi terhadap rangsangan
(stimulus) tertentu, misalnya rangsangan nyeri pada tubuh dengan dicubit
kemudian amatilah reaksi yg muncul. Bila reaksi wajar berarti baik. Bila reaksi
lamban/ lemah atau tidak kontinu, berarti kesadarannya tingkat sedang. Dan bila
tidak ada reaksi sama sekali kesadaran menurun.
Gangguan
kesadaran tingkat ringan atau tingkat sedang harus dibedakan dari kondisi klien
lansia yg sedang tidur. Bila tidur, biasanya dapat terbangun pada perangsangan
ringan/sedang. Lansia yg koma tak ada reaksi terhadap berbagai bentuk
rangsangan. Adapun tingkat kesadaran dibagi menjadi beberapa bagian sebagai
berikut :
a)
Kompos mentis (normal)
b)
Somnolen
c)
Sopor
d)
Soporo koma
e)
Koma
Bila
lansia menunjukkan gangguan tingkat kesadaran (pada umumnya dijumpai pada
penderita gawat darurat) cara yg lazim digunakan untuk mengevaluasi tingkat
kesadaran dengan kata lain cara menentukan tingkat kelainan neurologis adalah
dengan menggunakan skala glasglow, yaitu GCS (glasglow coma scale). Disini kondisi neurologis dinilai
berdasarkan 3 faktor. Reaksi untuk membuka mata, respon verbal, dan respon
motorik.
2.
Tanda vital
Pemeriksaan
tanda-tanda vital (vital sign)
meliputi pemeriksaan nadi( kecepatan nadi per menit) juga pemeriksaan tekanan
darah ( yg terdiri atas tekanan sistolik dan diastolik). Pemeriksaan tekanan
darah dapat dilakukan secara palpatoir atau auskultatoir.
3.
Sistem integument
Selain
yg tertera pada tabel.2, dapat diperhatikan pula tentang ada tidaknya anemia,
ikterus, sianosis, serta lesi primer dan lesi skunder. Lesi primer pada kulit
antara lain : makula, papula, mesikula, pustula, bula, nodul dan tumor.
Sedangkan lesi skunder antara lain berupa : skuama, ekskoriasi, fisura, krusta,
sikatriks dan ulkus. Perubahan lainnya beruba perubahan kulit lokal : angioma,
nevi, striae, kebotakan pada rambut, edema, turgor, berkeringat dan atrofi.
4.
Pengkajian status gizi
Pada
lansia perlu mewaspadai status gizi yg menurun, mengingat prevalensi malnutrisi
yg tinggi dikalangan mereka, yaitu sebesar 10% -50%. Malnutrisi ini merupakan
faktor utama bagi timbulnya kesakitan dan kematian khususnya bagi mereka yg
tinggal di panti. Selain itu seringkali status gizi dikalangan lansia ini
diabaikan orang. Malnutrisi sendiri merupakan masalah yg multifaktor yaitu
meliputi faktor fisik, sosial dan ekonomi. Bagi lansia yg tinggal sendiri sering
kali mengalami kurang makan khususnya pada gilongan pria.
Selanjutnya
gangguan kognitif da suasana hati (mood)
juga tidak jarang mengubah kebiasaan makan dan intake gizi secara normal. Di
negara maju, terdapat skitar 10% lansian yg memiliki kebiasaan mengonsumsi
alkohol dimana kenyataan ini sering tidak dihiraukan oleh perawatnya padahal
alkohol sendiri berakibat kurangnya nafssu makan. Pada umumnya masalah kurang
gizi pada lansia berupa kurang energi
kronis (KEK), anemia, dan kekurangan zat gizi mikro yg lain.
Dapat
dikatakan bahwa masalah gizi pada lansia untuk sebagian besar merupakan
rangkaian masalah gizi yg telah ada sebelumnya dan manifestasinya timbul
setelah klien menjadi tua. Selain itu dari banyak penelitian yg telah dilakukan
ternyata ditemukan bahwa kebanyakan masalah gizi pada lansia berupa masalah
gizi lebih atau kegemukan (obesitas) yg pada gilirannya memacu timbulnya
penyakit-penyakit degeneratif seperti: penyakit jantung koroner, hipertensi,
diabetes, batu empedu, gout (rematik), penyakit ginjal, sirosis hati, dan
penyakit-penyakit keganasan (kanker).
Lansia
yg mengalami obesitas ditemukan lebih sering pada wanita dibanding peria, yaitu
sebesar 26,1% : 15,6% (survei IMT, depkes 1997). Menurut para pakar ilmu gizi,
dikatakan bahwa selain kegemukan secara menyeluruh, kegemukan didaerah perut
lebih beresiko,. Kelebihan lemak diperut dihubungkan dengan meningkatnya resiko
menderita penyakit jantung koroner. Khusus mengenai hal ini dikenakan ukuran
rasio pinggang/ panggul yaitu merupakan hasil bagi antara lingkar perut (mulai
pusar) dengan lingkar pinggul (lingkaran terbesar). Rasio yg jauh dibawah 1 (pada
pria) atau 0,8 (pada wanita) merupakan faktor resiko tinggi. Menurut monika
(1992) kegemukan meningkatkan resiko tinggi menderita PJK sebesar 1-3 kali,
penyakit hipertensi sebesar 1,5 kali, penyakit diabetes sebesar 2,9 kali dan
penyakit empedu sebesar 1-6 kali.
Perlu
ditegaskan bahwa status gizi penting bagi lansia, berikut ini adalah kegunaan
status gizi.
1.
Untuk memperoleh respon umum terhadap
masuknya antigen asing
2.
Untuk dapat mempertahankan struktur dan
anatomi
3.
Untuk dapat berfikir jernih
4.
Untuk dapat memperoleh energi cadangan
bagi keperluan sosialisasi serta aktifitas jasmani
Beberapa perubahan fisiologis yg
terkait dengan proses penuaan dan dapat memengaruhi status gizi adalah sebagai
berikut :
1. Penurunan
penciuman dan pengecapan
2. Gangguan
guigi gerigi
3. Berkurangnya
produksi saliva sampai sebesar 1/3 kali produksi pada
usia muda
4. Gangguan
refleks menelan (lemah)
5. Kurang
toleran terhadap lemak
6. Peristaltik
menurun
7. Rendahnya
produksi asam lambung yg khususnya terkait dengan menurunya pencernaa dan
absorpsi vitamin, zat besi, zink, dan kalsium.
Secara fisiologis mengingat basal metabolisme rate (BMR) yg rendah
seiring dengan bertambahnya usia, maka kebutuhan nutrisinya menurun (disamping
berkurangnya aktivitas fisik). RDA untuk kalori : 2.300 untuk lansia kurang
dari 75 tahun dan 2.050 kalori untuk usia lebih dari 75 tahun, dimana 58% dari
karbohidrat, 30% dari lemak dan 12% dari protein. Lansia juga memerlukan ekstra
vitamin D, B6, dan kalsium untuk terhindar dari osteoporosis. Kebutuhan akan
serat kira-kira 35 gram/hari.
Pengkajian berat badan, tinggi
badan, dan struktur tubuh penting, mengingat pola pertambahan dan pengurangan
berat badan dapat memengaruhi kondisi kesehatan lansia secara keseluruhan,.
Pada kelembagaan (panti jompo dan sejenisnya), perawat perlu melakukan
pengamatan tentang pola defekasi dari para jompo, terutama bila mereka sendiri
tidak dapat menginformasikannya. Pada lansia tidak jarang terjadi anemia, namun
masih dalam bats normal. Dalam hal ini perlu mempertimbangkan kondisi kesehatan
lansia secara umum. Penjelasan tentang hal ini antara lain bahwa hasil
laboratorium darah bisa meningkat secara semu pada keadaan dehidrasi.
Tabel. 3 Pedoman pengkajian
pencernaan dan nutrisi
|
Kajian tentang kenyamanan rongga mulut dan mengunyah
1.
Apakah terdapat
sariawan atau perdarahan mulut ?
2.
Apakah sakit
gigi ? ngilu pada rangsang dingin atau panas ?
3.
Apakah gusi
berdarah ?
4.
Apakah sulit
mengunyah atau menelan, dan adakah jenis makanan yg dihindari karena hal ini
?
5.
Apakah
mulut/lidaah merasa kering ?
Kajian tentang perawatan gigi
1.
Sering
mengunjungi dokter gigi ? kapan teakhir kalinya ? dimana ?
2.
Bila tidak
pernah dalam setahun, tanyakan sebabnya
3.
Bagaimana ia
merawat giginya ?
Kajian kebutuhan nutrisi
1.
Adakah
menderita penyakit yg memerlukan modifikasi diet ? (DM, jantung)
2.
Adakah
alergi terhadap makanan tertentu ?
3.
Obat-obatan
apa yg digunakan sekarang ?
Kajian belanja kebutuhan pangan
1.
Bagaimana
melakukannya ?
2.
Apakah ada
yg membantu belanja ?
3.
Apakah ada
masalah dengan kegiatan ini ? (akibat pengelihatan, berjalan, transfortasi)
Kajian tentang persiapan hidangan dan pola konsumsi
1.
Dimana anda
makan, dengan siapa ?
2.
Apakah ada
yg membantu masak ?
3.
Adakah
kesulitan menyiapkan hidangan ? ( misalnya membuka makanan kalengan )
4.
Adakah
kesulitan berlalu-lalang di dapur, menggunakan peralatan dapur ?
5.
Adakah
perubahan pola makan dan masak ?
|
Tabel.
4 Perilaku terhadap nutrisi dan pencernaan
|
Perilaku terhadap nutrisi dan pencernaan
1.
Apakah
lansia tanpak menikmati makannya bersama yg lain atau merasa diganggu oleh yg
lain ?
2.
Bila memakai
gigi palsu, apakah dicopot waktu makan ? kenapa ?
3.
Adakah
mengemil diantara waktu-waktu makan dan bagaimanan pola minumnya ?
4.
Adakah
tersedia minuman ringan tanpa kafein ?
5.
Adakah
petunjuk mengenai pengaruh budaya dalam memilih/ memasak makanan ?
Amati situasi makan
1.
Adakah
pengaruh lingkungan/ sosial terhadap kenyamanan diwaktu makan ? (ruang makan
berisik, terganggu oleh pihak lain)
2.
Apakah
lansia makan sendiri atau memerlukan intraksi sosial ?
|
2)
Pemeriksaan fisik umum
Pemeriksaan
fisik per sistem secarra berurutan mulai dari kepala, leher, mata, THT,
mulut/tenggorokan, torak (pernapasan dan paru), kardiovaskular (jantung dan
pembuluh darah), abdomen serta ekstremitas atas dan bawah.
a)
Pengkajian sistem perkemihan
Proses
penuaan pada ginjal, kandung kemih, uretra, dan sistem persarafan memengaruhi
fisiologi pengeluaran urine. Proses penuaan dapat mengarah pada terjadinya
inkontinensia. Faktor risiko untuk timbulnya inkontinensia meliputi
obat-obatan, kondisi patologis, psikososial, serta kelainan kognitif dan
fungsional. Beberapa obat-obatan serta mekanisme kerjanya sehingga terjadi
inkontinensia, seperti yg tertera pada tabel. 5
Tabel. 5 Mekanisme kerja obat
inkontinensia
|
Jenis obat
|
Mekanisme kerjanya
|
|
Diuretika
|
Memperlancar berkemih, menyebabkan urgens, frekuensi,
dan poliuria
|
|
Obat anti kholinergik (antihistamin, antipsikotik,
antidepresan, antispasmodic, antiparkinson)
|
Menurunkan kontraksi kandung kemih, mengakibatkan
retensi urine, inkontinensia dan sebagainya
|
|
Adrenergic (dikongestan)
|
Mengurangi kontraksi kandung kemih, dalam jangaka lama
bisa mengakibatkan inkontinensia
|
|
Obat hipnotik dan antiansietas
|
Inkontinensia, delirium
|
|
Alkohol
|
Diuresis, delirium, gangguan kognitif dan inkontinensia
|
Ø Pengkajian faktor resiko yg
memengaruhi eliminasi urine
1. (pria) : apakah pernah operasi prostat/ kandung
kemih ?
2. (pria) : adakah riwayat penyakit prostat ?
3. (Wanita)
: apakah lansia punya anak ? (bila ya , berapa dan adakah masalah pada waktu
partus dulu)
4. (wanita)
: pernahkan dioperasi panggul, kandung kemih/ uterus ?
5. (wanita)
: adakah infeksi pada traktus genital ?
6. Adakah
nyeri/ rasa tak nyaman waktu berkemih ?
7. Adakah
penyakit kronis, obat apakah yg dipakai ?
8. Berapa
banyak minum sehari ? (tanyakan jumlah dan jenis)
Ø Pengkajian faktor resiko tidak
langsung
1. Adakah
kesulitan untuk berjalan/ gangguan keseimbangan ?
2. Bila
berada di tempat umum adakah mengalami kesulitan ketoilet ?
Ø Pengkajian gejala dan keluhan
disfungsi urine
1. Bisakah
menahan kemih sebelum mencapai toilet ? (berapa lama) bagaimana bila batuk dan
sejenisnya ?
2. Apakah
perlu selalu bangun berkemih malam hari ?
3. Setelah
berkemih apakah merasa tidak lampias ?
4. (pria)
: sulit mulai berkemih
Ø Pengkajian inkontinensia
1. Kapan
mulainya ?
2. Apa
tindakan anda untuk mengatasinya ? (dengan cara membatasi minum/sering
berkemih)
3. Adakah
sesuatu hal tertentu yg memperburuk atau dapat menguranginya ?
4. Apakah
sakit waktu berkemih ?
5. (wanita)
: adakah merasa tekanan di daerah panggul ?
Ø Pengkajian tentang rasa takut,
sikap, konskuensi psikososial
1. Sudahkan
mencari pengobatan ?
2. Apakah
merasa selalu perlu berada dekat dengan toilet ?
3. Apakah
menghindari bepergian karena hal itu ?
c. pengkajian sistem pernapasan
Pengkajian
sistem pernapasan dilakukan atas dasar pemahaman terhadap proses penuaan yg
terjadi pada sistem pernapasan. Hal ini mencakup :
a.
Perubahan pada saluran pernapasan atas
b.
Diameter dinding
c.
Dinding dada kaku
Bentuk
kelainan yg dikaji meliputi adanya pernapasan dengan menggunkan otot napas
tambahan, pernapasan yg memerlukan tenaga, pernapasan yg kurang efisien,
menurunnya refleks batuk, serta lansia menjadi lebih rentan terhadap infeksi
saluran nafas bagian bawah (ISPB). Adapun faktor resiko yg ditemukan antara
lain berupa merokok, polusi udara, atau polusi akibat keterpaparan (exposure) dari lingkungan pekerjaan
seperti asbestosis.
d.
pengkajian mobilitas
Pengkajian
mobilitas dilakukan atas dasar pemahaman terhadap prosespenuaan yg terjadi pada
mobilitas. Hal ini mencakup :
a.
Berkurangnya massa otot
b.
Jaringan ikat mengalami perubahan
degeneratif
c.
Osteoporosis
d.
Perubahan pada susunan saraf
Bentuk
keelainan yg dikaji meliputi adanya penurunan kekuatan, daya tahan, koordinasi
gerak otot, adanya hambatan gerak sendi, rawan jatuh dan rawan fraktur. Adapun
faktor resiko yg ditemukan antara lain berupa osteoporosis terutama pada
wanita, mereka yg kurang bergerak, serta lansia dengan kelainan kekurangan
kalsium, gangguan ini sring menyerang tulang-tulang kecil terutama ditemukan
pada mereka yg bertubuh kurus.
e.
pengkajian sistem kulit/ integument
Pengkajian
sistem kulit/ integumen dilakukan atas dasr pemahaman terhadap proses penuaan
yg terjadi pada sistem kulit/ integumen. Hal ini mencakup :
a.
Pertumbuhan epidemis melambat, kulit
kering, epidemis menipis
b.
Berkurangnya vaskularisasi
c.
Berkurangnya melanosit dan
kelenjar-kelenjar pada kulit
Bentuk
kelainan yg dikaji meliputi adanya kulit kering, keriput, luka sulit menyembuh,
mudah mengalami luka bakar serta trauma dan infeksi. Selain itu, biasanya juga
terdapat adanya perubahan termoregulasi, peka terhadap kanker kulit, dan kuku
mengalami trauma/ injuri. Adapun faktor resiko yg biasa ditemukan antara
lainberupa : terkena sinar ultraviolet, frekuensi kebiasaan mandi, serta
keterbatasan aktivitas.
f.
pengkajian pola tidur
Pengkajian
pola tidur dilakukan atas dasar pemaham terhadap proses penuaan yg terjadi pada
pengkajian pola tidur . hal ini mencakup perubahan siklus tidurseiring penuaan.
Bentuk kelainan yg dikaji meliputi adanya berbagai konsekuensi fungsional
berupa : susah tidur pulas, sering terbangun serta kualitas tidur yg rendah.
Selain itu dikaji pula tentang lansia berada lama ditempat tidur serta jumlah
total waktu tidur per hari yg berkurang.
Adapun
faktor resiko yg ditemukan antara lain berupa : nyeri ketidaknyamanan,
alkoholik,pemakaian obat tidur serta adanya faktor lingkungan seperti:
kegaduhan dan penyakit sistemik yg berdampak lansia sering berkemih dimalam
hari.
g.
pengkajian status fungsional
Pengkajian
satus fungsional sangan penting terutma ketika terjadi hambatan pada kemampuan
lansia dalam melaksanakan fungsi kehidupan sehari-harinya. Aktivitas kehidupan
harian yg dalam bahasa inggris disingkat ADL (aktivity of daily living) adalah merupakan aktivitas pokok bagi
parawatan diri. ADL meliputi antara lain : ke toilet, makan, berpakaian
(berdandan), mandi, dan berpindah tempat. Pengkajian ADL penting untuk
mengetahui tingkat ketergantungan. Dengan kata lain besarnya bantuan yg
diperlukan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari serta untuk menyusun rencana
perawatan jangka panjang. Dalam hal ini terdapat pula ADL instrumen yaitu
merupakan aktivitas yg lebih kompleks namun mendasar bagi situasi kehidupan
lansia dalam bersosialisasi termasuk kegiatan belanja, masak, pekerjaan rumah
tangga, mencuci, telepon, menggunakan sarana transfortasi, mampu menggunakan
obat secara benar, serta menejemen keuangan. Dengan demikian lansia diharapkan
dapat terus bersosialisasi. ADL instrumen yg meliputi kemampuan : menggunakan
telepon, berjalan, berbelanja, memasak, membenahi rumah, mencuci, dan mengatur
konsumsi obat. Pengkajian ADL umumnya mengikuti indeks pengukuran yg
dikembangkat oelh Barthel dan Kets. Indeks ini didasarkan pada hasil evaluasi
terhadap tingkat kemandirian atau sebaliknya yaitu tingkat ketergantungan
secara fungsional. Indeks terdiri atas 7 tingkat, sebagai hasil penilaian
terhadap perihal melakukan kegiatan mandi, berpakaian, ke toilet, beranjak,
kontinensia dan makan (lihat tabel. 6).
Tabel. 6 Indeks tingkat
kemandirian/ ketergantungan pada lansia
|
Tingkat A. Mandiri pada ke-7 jenis aktivitas
Tingkat B. Mandiri pada 6 jenis aktivitas
Tingkat C. Ketergantungan dalam hal mandi plus salah
satu yg lain
Tingkat D. Ketergantungan dalam hal mandi, berpakaian
plus salah satu lainnya
Tingkat E. Ketergantungan dalam hal mandi, berpakaian,
ke toilet plus salah satu lainnya
Tingkat F. Ketergantungan dalam hal mandi, berpakaian,
ke toilet dan transferring plus salah
Satu lainnya
Tingkat G. Ketergantungan pada ke-7 fungsi
Lain-lain : bila terdapat ketergantungan pada 2 fungsi
atau lebih yg tidak termasuk dalam
C,D,E dan F
|
Adapun
kemandirian disini dihubungkan dengan kemampuan klien dalam melakukan fungsi
tanpa memerlukan supervisi, petunjuk maupun bantuan aktif dengan pengecualian
seperti dicantumkan dalam definisi diatas. Untuk menetapkan apakah salah satu
fungsi tersebut mandiri atau dependen ( memperlihatkan tingkat ketergantungan) diterapkan
standar sebagai berikut :
1.
Tentang mandi, dinilai kemampuan klien
untuk menggosok/ membersihkan sendiri seluruh bagian badannyan, atau dalam hal
mandi dengan pancuran (slower) atau deengan cara masuk dan keluar sendiri dari
bath tub. Dikatakan mandiri, bila dalam melakukan aktivitas ini klien hanya
memerlukan bantuan untuk menggososk/ membersihkan sebagian anggota
badannya dikatakan dependen
2.
Dalam hal berpakaian, dikatakan mandiri
apabila mampu mengambil sendiri pakaian dalam lemari atau laci misalnya,
Mengenakan sendiri bajunya, memasang kancing atau resleting (mengikat tali sepatu, dikecualikan)
3.
Ke
toilet, dikatakan mandiri bila lansia mampu ke toilet sendiri, beranjak
dari kloset, merapikan pakaian sendiri, membersihkan sendiri organ ekskres.
4.
Transferring, dikatakn mndiri bila mampu
naik turun sendiri ke tempat tidur dan atau kursi roda. Bila hanya memerlukan
sedikit bantuan atau bantuan yg bersifat mekanis, tidak termasuk.
5.
Kontinensia, torgolong mandiri bila
mampu buang hajat seendiri (urinasi dan defekasi)
6.
Makan, dikatakan mandiri jika mampu
menyuap makanan sendiri, mengambil dari piring. Dalam penilaian tidak termasuk
dalam hal mengiris potongan daging.
h.
Pengkajian Status Psikososial
Adapun
pengkajian fungsi psikososial dilakukan melalui observasi, wawancara daan
pemeriksaan status mental (menurut folstein). Informasi yg dihimpun meliputi
fungsi kognitif, psikomotor, pandangan dan penalaran, serta kontak dengan
realita (black, 1990)
Pemeriksaan
ini dilakukan untuk dapat menentukan pikiran serta proses mental, apakah lansia
mampu memperlihatka fungsi optimal. Bila lansia mengalami suatu serangan
penyakit atau gangguan tertentu maka perlu diidentifikasi hal-hal sebagai
berikut :
1.
Evaluasi kesadaran dan orientasi
2.
Aspek kognitif, alam perasaan dan efek,
termasuk pula observasi terhadap perilaku dan respon terhadap pertanyaan yg
diajukan.
Observasi
dilakukan secara biasa (natural) tidak bersifat mengancam, serta dengan
mempertimbangkan aspek etnik (adat-istiadat). Rincian tentang item-item yg
dilakukan dalam pengkajian secara menyeluruh pada klien lansia, meliputi
hal-hal sebagai berikut :
1.
Apakah pasien dapat bermanuver secara
aman dan bertujuan, dengan pengertian tidak ragu-ragu, maju mundur, serta tidak
memperlihatkan fostur atau gerakan-gerakan yg agresif.
2.
Apakah pasien menunjukkan kontak mata,
menampilkan ekspresi wajah secara tepat.
3.
Apakah ekspresi menunjukkan ansietas,
nyeri, apatis, bermusuhan, takut, dan mudah beralih perhatian.
4.
Observasi mengenai ekspresi wajah,
antara lain ditunjukkan pada eye contact,
klien tanpak arif dimana menampilkan ekspresi yg tepat sesuai dengan materi
percakapan, kadang-kadang tanpak seperti ada bayangan gelap disekitar mata.
5.
klien kadang-kadang menyembunyikan mulut
dengan tangan, takut, merintih/ nyeri, pucat berkeringat.
6.
Ada tidaknya gambaran asimetris akibat
parlisis, kontraktur, atrofi otot.
7.
Dalam hal bicara, apakah terdapat
kesulitan dalam merespons pertanyaan/ instruksi-instruksi yg diajukan oleh
perawat. Kadang-kadang klien terlalu banyak bicara atau bila mengelak,
dilakukan berulang-ulang. Artikulasi : terdapat bunyi khusus pada saan
berbicara. Amati apakah variasi topik bicaranya tepat. Apakah ada keragu-raguan
, gagap atau bicara monoton.
i.
Penfkajian aspek spiritual
Terdapat
indeks yg dirancang untuk mengukur upaya yg dilakukan secara individual dalam
pencarian arti dan makna kehidupan. Hal ini mencakup segi apersepsi terhadap
makna kehidupan yg lebih mendalam, serta bagaimana seseorang menempatkan
dirinya dalam lingkungan alam. Indeks tersebut meliputi :
Tabel. 7 Indeks untuk mengukur
upaya yg dilakukan secara individual dalam pencarian arti dan makna kehidupan
|
·
Perasaan
individu tentang kehidupan keagamaannya ( shalat dan/berdo’a)
·
Melakukan
kewajiban-kewajiban agar berkontemplasi tentang makna kehidupan menurut agama
dan kepercayaannya
·
Bagaimana
seseorang merefleksikan arti kehidupan yg dijalaninya
·
Apakah
nilai-nilai keberagamaannya menuntun kehidupannya sehari-hari
·
Apakah nilai
keberagamaannya dapat menuntun jawaban tantangan-tantangan dalam kehidupan
·
Mengetahui
bahwa nilai spiritualnya merupakan suatu proses yg berlangsung terus selama
hayat
·
Apakah seseorang
itu peduli tentang isu-isu kemanusiaan ?
·
Apakah
seseorang itu menyenangi bila sewaktu-waktu terlibat dalam diskusi tentang
nilai-nilai keagamaan ?
·
Apakah
kewaspadaan agama juga muncul disaat
seseorang berada diluar masa kritis ?
·
Apakah yg bersangkutan
meyakini tentang konsep keimanan terhadap tuhan penciptaanya ?
·
Apakah
terdapat keinginan untuk membagi nilai-nilai spiritual yg dijalaninya bersama
orang lain ?
|
2.
DIAGNOSA
1.
Risiko perubahan suhu tubuh (Risiko
perubahan keseimbangan suhu): ketidakefektifan respon pendingin (Hipertermia)
2.
Risiko perubahan suhu tubuh (Risiko
perubahan keseimbangan suhu): kehilangan panas berlebihan (Hipotermia)
3.
Risiko perubahan suhu tubuh (Risiko
perubahan keseimbangan suhu): ketidakefektifan respon penghangatan
3.
INTERVENSI
KEPERAWATAN
1.
Risiko perubahan suhu tubuh (Risiko
perubahan keseimbangan suhu): ketidakefektifan respon pendingin (Hipertermia)
|
Hipertermia
Definisi : suhu tubuh
naik diatas rentang normal
Batasan Karakteristik:
·
kenaikan suhu tubuh diatas rentang normal
·
serangan atau konvulsi (kejang)
·
kulit kemerahan
·
pertambahan RR
·
takikardi
·
saat disentuh tangan terasa hangat
Faktor faktor yang
berhubungan :
-
penyakit/ trauma
-
peningkatan metabolisme
-
aktivitas yang berlebih
-
pengaruh medikasi/anastesi
-
ketidakmampuan/penurunan kemampuan untuk berkeringat
-
terpapar dilingkungan panas
-
dehidrasi
-
pakaian yang tidak tepat
|
NOC : Thermoregulation
Kriteria Hasil :
v
Suhu
tubuh dalam rentang normal
v Nadi
dan RR dalam rentang normal
v Tidak ada perubahan warna kulit
dan tidak ada pusing
|
NIC :
Fever treatment
§ Monitor
suhu sesering mungkin
§ Monitor
IWL
§ Monitor
warna dan suhu kulit
§ Monitor tekanan darah, nadi dan RR
§ Monitor
penurunan tingkat kesadaran
§ Monitor
WBC, Hb, dan Hct
§ Monitor
intake dan output
§ Berikan
anti piretik
§ Berikan
pengobatan untuk mengatasi penyebab demam
§ Selimuti
pasien
§ Lakukan
tapid sponge
§ Kolaborasipemberian
cairan intravena
§ Kompres pasien pada lipat paha dan aksila
§ Tingkatkan
sirkulasi udara
§ Berikan
pengobatan untuk mencegah terjadinya menggigil
|
2.
Risiko perubahan suhu tubuh (Risiko
perubahan keseimbangan suhu): kehilangan panas berlebihan (Hipotermia)
|
Hipotermia
Definisi: suhu tubuh
berada dibawah kisaran normal
Batasan karateristik
·
Suhu tubuh dibawah kisaran normal
·
Kulit dingin
·
Dasar kuku sianotik
·
Hipertensi
·
Pucat
·
Piloreksi
·
Menggigil
·
Pengisian ulang kapiler lambat
·
Takikardi
Faktor yang berhubungan
·
Penuaan
·
Konsumsi alkohol
·
Kerusakan hipotalamus
·
Penurunan kemampuan mengigil
·
Penurunan laju metabolisme
·
Penguapan/evaporasi kulit
Dilungkungan
yang dingin
·
Pemajanan lingkungan yang dingin
·
Penyakit
·
Tidak beraktivitas
·
Pemakaian pakaian yang tidak adekuat
·
Malnutrisi
·
Medikasi
·
Trauma
·
|
NOC
·
Thermoregulasi
·
Thermoregulation: neonate
kriteria
Hasil
·
Suhu tubuh dalam rentang normal
·
Nadi dan RR dalam rentang normal
|
NIC
Temperature regulation
·
Monitor suhu minimal tiap 2 jam
·
Rencanakan menitoring suhu secara kontinyu
·
Monitor TD, nadi, dan RR
·
Monitor warna dan suhu kulit
·
Monitor tanda-tanda hipertermia dan hipotermia
·
Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
·
Selimuti pasien untuk mencegah hilangnya kehangatan tubuh
·
Ajarkan pada pasien cara mencegah keletihan akibat panas
·
Diskusikan tentang pentingnya pengaturan suhu dan kemungkinan efek
negatif dari kedinginan
·
Beritahukan tentang indikasi terjadinya keletihan dan penanganan
emergency yang diperlukan
·
Ajarkan indikasi dari hipotermi dan penanganan yang diperlukan
·
Berikan anti piretik jika perlu vital sign monitoring
|
3.
Risiko perubahan suhu tubuh (Risiko
perubahan keseimbangan suhu): ketidakefektifan respon penghangatan
|
Resiko
ketidakseimbangan suhu tubuh
Definisi:
berisiko mengalami kegagalan mempertahankan suhu tubuh dalam kisaran normal.
Faktor
risiko
·
Perubahan laju metabolism
·
Dehidrasi
·
Pemajanan suhu lingkungan yang ekstrem
·
Usia ekstrem
·
Berat badan ekstrem
·
Penyakit yang mempengaruhi regulasi suhu
·
Tidak beraktivitas
·
Pakaian yang tidak sesuai untuk suhu
lingkungan
·
Obat yang menyebabkan fasokontriksi
·
Obat yang meyebabkan vasodilatasi
·
Sedasi
·
Trauma yang memengaruhi pengaturan suhu
·
Aktivitas yang berlebihan
|
NOC
·
Termoregulasi
·
Termoregulasi: Newborn
Kriteria
Hasil
·
Suhu kulit normal
·
Suhu badan 360 – 370C
·
TTV dalam batas normal
·
Hidrasi adekuat
·
Tidak hanya menggigil
·
Gula darah DBN
·
Keseimbangan asam basa DBN
·
Bilirubin DBN
|
NIC
·
Pengaturan suhu: mencapai dan atau mempertahankan
suhu tubuh dalam range normal
·
Pantau suhu bayi baru lahir sampai stabil
·
Pantau tekanan darah, nadi, dan
pernafasan dengan tepat
·
Pantau dan warna-warna suhu kulit
·
Pantau dan laporkan tanda dan gejala
hipotermia dan hipertermia
·
Tingkatkan keadekuatan masukan cairan dan
nutrisi
·
Gunakan matras panas dan selimut hangat
yang disesuaikan dengan kebutuhan
·
Berikan pengobatan yang tepat untuk
mencegah atai control menggigil
·
Gunakan matras sejuk dan mandi dengan air
hangat untuk menyesuaikan dengan suhu tubuh dengan tepat.
|
4.
IMPLEMENTASI
Implementasi merupakan kategori dari
perilaku keperawtan, di mana perawat melakukan tindakan yang diperlukan untuk
mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan (Potter dan
Perry 1997). Implementasi mencakup melakukan, membantu, atau mengarahkan
kinerja aktivitas sehari-hari. Dengan kata lain, implementasi adalah melakukan
rencana tindakan yan telah ditentukan untuk mengatasi masalah klien.
Komponen implementasi dari proses keperawatan terdiri
atas lima tahap:
1.
Mengkaji ulang klien
2.
Menelaah dan memodifikasi rencana
asuahan keperawatan yang ada
3.
Mengidentifikasi jenis bantuan yang
dibutuhkan
4.
Mengimplementasikan intervensi
keperawatan
5.
Mengomunikasikan intervensi keperawatan.
Pada
tiga prinsip pedoman implementasi asuhan keperawatan, ayitu:
1.
Mempertahankan keamanan klien
2.
Memberikan asuhan yang efektif
3.
Memberikan asuhan seefesien mungkin
5.
EVALUASI
Evaluasi merupakan keputusan atau
mendapat tentang data (Carpenito dan Moyet 2007). Dalam mengevaluasi data dan
situasi, perawat harus mengetahui rentang nilai normal.
a.
Tipe-tipe Evaluasi
Ada
tiga tipe evaluasi yang harus perawat lakukan dalam asuhan keperawatan kepada
klien, meliputi:
1.
Evaluasi masalah kolaboratif.
2.
Evaluasi diagnosis keperawatan dan peningkatan
pencapaian tujuan.
3.
Evaluasi dari status perencanaan
keperawatan dan hasil yang didapat.





0 comments:
Post a Comment