Saturday, 31 October 2015

Askep Pada Lansia Gangguan Termoregulasi



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Manusia memiliki kemampuan untuk mempertahankan suhu tubuh yang relative konstan walaupun kondisi lingkungan sangat beragam. Sebagai amkhluk homeoterm atau makhluk berdarah panas, menusia memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi, baik untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan maupun untuk mengubah lingkungan mereka. Perubahan suhu tubuh merupakan maslah keseimbangan suhu tubuh, dengan faktor fisik, serta kemampuan fisioligis, yang memengaruhi produksi atau kehilangan panas. Dinamika perubahan suhu tubuh harus benar-benar dipahami untuk merencanakan perawatan yang efektif untuk semua kelompok usia. Namun, penuaan dapat merubah beberaoa dinamika ini. Kemampuan termoregulasi berubah sepanjang hidup, sebagai fungsi maturasi, laju metabolik, dan kesehatan relatif system peredaran darah dan sistem saraf. Lajiu metabolik yang lambat dan insiden penyakit yang lebih tinggi pada usia lanjut meningkatkan risiko perubahan suhu inti tubuh. Ketidakcakapan fisik dan perilaku juga dapat menimbulkan perubahan suhu pada lansia, yaitu dengan membatasi kedali pribadi terhadap lingkungan mereka. Akibatnya, sekuela kegagalan mekanisme termoregulasi pada lansia dapat secara serius memengaruhi hasil pada pasien.












BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Termoregulasi
Termoregulasi adalah Suatu pengaturan fisiologis tubuh manusia mengenai keseimbangan produksi panas dan kehilangan panas sehingga suhu tubuh dapat dipertahankan secara konstan.
Keseimbangan suhu tubuh diregulasi oleh mekanisme fisiologis dan prilaku. Agar suhu tubuh tetap konstan dan berada dalam batasan normal, hubungan antara prodksi panas dan pengeluaran panas harus dipertahankan. Hubungan diregulasi melalui mekanisme neurologis dan kardiovaskular. Perawat menerapkan pengetahuan mekanisme kontrol suhu untuk meningkatkan regulasi suhu.
Panas tubuh diproduksi terus-menerus sepanjang hidup melalui pengeluaran energy dalam reaksi metabolik seluler dan pembakaran zat-zat makanan yang telah dicerna. Friksi jaringan akibat darah sirkulasi dan kontraksi otot menghasilkan panas tambahan. Metabolism seluler basal, proses produksi “api kehidupan” menurun seiring penuaan, menyebabkan penurunan kemampuan lansia dalam menghasilkan panas. Laju metabolik melambat pada usia 80 tahun, penurunan tersebut signifikan (Reuler, 1984). Kadar panas  yang sedikit pad lansia memaksa lansia mengeluarkan energi selama kedaruratan suhu. Berbeda dengan individu yang lebih muda, yang tetap hangay saat terpajan dingin dengan menyimpan atau meredistribusi panas tubuh yang ada, lansia harus menggunakan aktivitas musculoskeletal untuk menghasilkan panas atau mencari sumber eksternal agar meras hangat. Jika kerusaka fisiologis atau perilaku menggangu penggantian panas, resiko hipotermia meingkat. Kekhawatiran terhadap kehilangan panas meningkat dalam area keperawatan gereatrik; namun, perhatian yang sama harus diberikan terhadap masalah pemanasan berlebihan (Kolanowski dan Gunter, 1983). Penuaan, penyakit, dan terapi obat menyebabkan deficit air dalam tubuh dan aktivitas vasomotor, sehingga kemampuan untuk melepas panas tubuh jadi terhambat. Masalah pemanasahan yang berlebihan dalam cuaca panas meningkat ketika lasia tidak mampu membeli AC dan tinggal di area yang membuat mereka merasa tidak aman bila membiarkan jendela terbuka.
Tida kondisi yang sering kali menjadi hasil perubahan keseimbangan suhu adalah hipotermia, hipertermia, dan demam, yang masing-masing menunjukkan penyimpangan suhu tubuh normal, tetapi tidka dapat dideskripsikan denagn jelas hanya denagn berpatokan pada penyimpangan suhu tubuh normal saja. Selain itu, istilah ini tidak mennetukan faktor penyebab.”faktor yang berhubungan” harus membedakan faktor yang menghubungkan hipotermia atau hipertermia dengan kegagalan mekanisme pengendalian atau berbagai faktor lingkungan. Selain itu, demam perlu didefinisikan lebih jauh karena tidak selalu terkait dengan penyebab infeksius. Aktivitas demam sering kali disebabkan oleh obat, produk darah, atau zat yang menginduksikan respon sistemik pejamu. Intervensi dapat menjadi lebih tepat dan spesifik jika faktor yang berhubungannya (penyebab) diidentifikasi. Walaupun asal demam masih belum diketahui, terdapat sekuela yang dapat diperkirakan yang berkaitan denagn air yang diperlukan serta pengeluaran kalori yang menunjukkan pertimbangan penegakan diagnosis.

1.      Hipotermia
Istilah hipotermia secara harfiah bermakna “panas” yang rendah.” Disebagian besar tatanan, istilah tersebut digunakan untuk mendeskripsikan kondisi ketika suhu tubuh turun drastic sampai di bawah 350C dengan keparahan dari ringan sampai berat. Hipotermia dapat terjadi pada setiap individu atau situasi ketika kehilangan panas melebihi kemampuan tubuh dalam menghasilkan atau penyimpaan panas. Predisposisi hipotermia pada individu lansia sangat banyak karena kesempatan kehilangan panas sering muncul bersamaan penurunan respon menghasilkan/menyimpan panas (Ballester dan Harchelroad, 1999). Dua situasi yang cenderung menyebabkan hipotermia incidental selama cuaca dingin adalah: (1) individu yang sehat terpajanan dalam waktu yang lama pada kondisi lingkungan yang dingin atau (2) individu yang mengalami gangguan kemampuan termoregulasi terpajan dengan suhu ruangan tanpa perlindungan. Individu lansia yang mengalami beberapa tingkat kerusakan termoregulasi dapat berisiko mengalami kedua situasi tersebut jika ia mengalami pembedahan, jika ia mengalami cedera akibat jatuh atau mengalami kecelakaan, atau tersesat atau terjebak ditempat dingin. Pada suhu otak di bawah 200 C, kemampuan termoregulasi ditekan dan individu mengalami poikilotermia atau mengalami penurunan kemampuan termoregulasi. Poikilotermia berpotensi mematikan jika tidak ditangani karena suhu terus menurun di bawah tingkat yang tidak sesuai denagn kehidupan. Setiap fungsi vital tubuh berisiko ketika pasien hipotermia tidak ditolong, tetapi distritmia jantung dan supresi pernapasan merupakan bahaya yang pertama muncul.
2.      Hipertermia
Hipertermia merupakan  akiabt disfungsi termoregulasi atau kegagalan mekanisme pendinginan tubuh normal. Cedera pada hipotalamus, dehidrasi, atau panas lingkungan yang sangat tinggi dapat menyebabkan hipertermia. Pasien lansia khususnya rentan terhadap heatstroke, kondisi yang menggangu aktivitas regulasi hipotalamus. Ketidakmampuan berkeringat dan kehilangan panas melalui vasodilatasi dapat cepat mengakibatkan kematian, kecuali diobati. Saat suhu meningkat lebih dari 400 C, bahay kerusakan ireversibel pada  otak meningkat. Individu yang memiliki riwayat gangguan neurologis, penggunan alkohol, dan gangguan oabt ayng mengandung atropine bahkan lebih rentan terhadap hipertermia. Hipertermia harus ditangani dengan pendinginan aktif dan penggantian cairan oelh pemberi asuh. Semakain berat.

3.      Demam
Demam, atau hiperpireksia, terjadi ketika zat yang memicu reaksi sistemik masuk ke dalam tubuh, yang disebut respon fase akut. Zat yang menimbulkan demam, atau pirogen, meliputi orgasme infeksius, obat-obatan toksik, senyawa kimia, produk darah, sel neoplastik, dan benda asing. Akibat pelepasan pembawa pesan seluler yag disebut sitokin, pirogen endogen mebentuk rantai rekasi di dalam tubuh. Demam berbeda denagn hipertermia. Pada demam, mekanisme termoregulasinya tetap utuh dan sangat utuh. Mekanisme berkeringat dan vasodilator berfungsi normal, tetapi pada sel point baru yang lebih tinggi. Kenaikan suhu tubuh merupakan salah satu respon demam yang kompleks. Penrunan awal kadar neutrofil diikuti oleh neutrofilia drastic dalam waktu sekitar satu jam. Kenaikan yang tajam ini maksimal dalam enam jam dan berlangsung selama hamper 24 jam (Cooper, 1995).



B.     Faktor-Faktor Yang Berhubungan/Etiologi Perubahan Suhu Tubuh
Keseimbangan suhu didefinisikan sebagai keadaan yang dinamis, ekuilibrium yang rapuh ketika kecepatan panas yangdihasilkan tubuh ekuivalen dengan kecepatan kehilangan panas ke lingkungan. Perubahan suhu tubuh merupakan penyebab dan akibat masalah kehilangan panas atau produksi panas, sehingga penting untuk segera mengidentifikasi faktor yang berhubungan. Seiring penuaan, perubahan fisiologis cenderung memengaruhi produksi, distribusi, dankonservasi panas. Perubahan fisik pada densitas tubuh, kandungan air, dan insulasi lebih jauh dapat menimbulkan masalah pertukaran panas. Gabungan faktor perilaku dan faktor lingkungan mengancam keseimbangan suhu ketika individu lansia tidak dapat membebaskan diri dari atau mengubah situasi ketika mereka terpajan denagn suhu ekstrem.

1.      Mekanisme Kendali
Termoregulasi adalah pengaturan produksi dan pengeluaran panas yang dibutuhkan untuk mempertahankan tubuh pada tingkat yang optimal untuk melakukan fungsi seluler. Pada manusia, mekanisme ini merupakan rentang yan relative sempit, yaitu (1) cukup hangat untuk untuk meningkatkan aktivitas kimiawi seluler dan transmisi saraf; (2) bersuhu cukup rendah, yang aman bagi jaringannya yang rentan, misalnya, otak; dan (3) cukup efisien untuk dioperasikan denagn pengeluaran energy minimum. Untuk kebanyakan individu dewasa muda, suhu tubuh dipertahankan dalam rentang 36,50 C samapi dengan 37,50 C dengan pengendalian termostatik yang cermat.

2.      Rentang Eutermia
Eutermia, kondisi suhu tubuh “normal” atau suhu tubuh yang biasanya, bukan tingkat tunggal, tetapi merupakan rentang suhu yang berubah-ubah sepanjang hari. Sementara itu, 37,50 C mencerminkan keadaan eutermia untuk banyak individu, individu sehat lain akan memiliki rentang di atas atau di bawah nilai tersebut.

3.      Respon termoregulasi
Intensitas dan energy yang dikeluarkan dalam respon penghangatan atau pedinginan terhadap perubahan atau ancaman keseimbangan suhu sama. Vasokontriksi dapat sementara selama panjanan terhadap embusan udara dan sering kali menyebabkan sedikit perubahan kecil dalam kebutuhan terhadap oksigen. Apabila penyimpangan suhu yang dirasakan menetap walaupun vasomotor berupaya mengalirkan darah kejaringan yang lebih dalam dan lebih hangat, respon menggigil terstimulasi. Menggigil menghabiskan eergi metabolik yang sama besar denagn mengendarai sepeda atau menyekop salju (Newstead, 1987).

4.      Respon Perilaku Terhadap Rasa Perubahan Suhu
Respon perilaku yang tepat terhadap perubahan suhu lingkungan mencakup tindakan, seperti memilih jenis busana sesuai musim, minum air dingin atau air hangat, pindah ke lokasi lain, atau mengatur thermostat ruangan. Kemampuan ini membutuhkan kemampuan fungsi sensorik dan motorik. Perubahan dimensia ini sering terjadi setelah stroke atau peristiwa neurologic lain, tetapi dapat juga merupakan fungsi penuaan (Never et al.,1995). Pengaruh penuaan pada kemampuan merasakan suhu dicatat oelh beberapa penenliti, dengan bukti penurunan persepsi suhu pada lansia (Natsume, Ogawa, Sugenoya, Ohnishi, dan Imai, 1992). Penuruna aktual pembedaan suhu di kulit telah terbukti, dengan kebutuhan stimulasi suhu yang lebih besar untuk dapat memunculkan respon perilaku (Taylor, Allsopp, dan Parkes, 1995). Pada saat yang sama, lansia cenderung memilih suhu lingkungan yang lebih hangat pada semua musim (Natsume et al.,1992).

C.    Faktor Risiko
Faktor yang berperan terhadap perubahan keseimbangan suhu sering kali dapat dapat ditangani melalui intervensi keperawatan, walaupun terdapat kondisi patologik atau konstitusional yan tidak dapat dikendalikan pemberi asuhan. Situasi yang membuat pasien berisiko mengalami pemanasan atau pendinginan berlebihan, dapat berupa masalah neuroregulasi dan tidak dapat diintervensi secara langsung. Namun, pada banyak kasus, keseimbangan suhu dapat diperbaiki dan dipertahankan melalui pengaruh aktif terhadap mekanisme pertukaran panas melalui upaya terpeutik dan modifikasi lingkungan. Sebagai contoh, risiko kelelahan akibat panas dan heatstroke dapat dihubungkan dengan dehidrasi dan pajanan terhadap panas yang berlebihan. Kondisi ini dapat terjadi bersamaan dengan ketidakmampuan pasien untuk menelan atau meraih air minum. Selama pembedahan, kehilangan panas yang tidak disengaja biasanya berkaitan dengan supresi aktivitas neuromuskular akibat obat dan suhu lingkungan yan grendah. Pada setiap situasi tersebut, faktor yang berhubungan dalam konteks keperawatan adalah faktor yang dapat dicegah atau dibalik. Pada demam, fase tersebut dapat menentukan diagnosis dan penanganannya. Selama fase menggigil, misalnya, perubahan keseimbangan suhu berkaitan dengan rasa kehilangan panas, sekunder akibat set point termoregulasi yang lebih tinggi. Intervensi yang tepat adalah melindungi dan mempertahankan ekstremitas hangat, sementara membiarkan panas yan berlebihan keluar dari batang tubuh dan kepala. Intervensi ini samasekali tidak berhubungan dengan suhu tubuh, melainkan berkaitan dengan ancaman terhadap keseimbangn suhu: semua faktor yang memengaruhi pertukaran dan produksi panas. Jika demam dikaitkan dengan deficit cairan, ancaman terhadap keseimbangan suhu dapat “berhubungan dengan deficit volume cairan”. Penggantian cairan bertujuan meningkatkan perfusi sirkulasi ke kulit dan jaringan superficial untuk melepas panas.

D.    Asuhan Keperawatan
1.      Pengkajian Keperawatan
Tujuan perawatan pada lansia adalah untuk mengoptimalkan kesehatan mereka secara umum, serta memperbaiki/mempertahankan kapasitas fungsionalnya.
Keduanya bertujuan agar :
1.      Lansia dapat tetap dipertahankan dirumahnya untuk mengurangi biaya perawatan
2.      Meningkatkan kualitas hidupnya sehari-hari
3.      Mengoptimalkan kapasitas fungsionalnya
Pengkajian yg menyeluruh pada lansia yg dilakukan oleh perawat meliputi :
1.      Mengidentifikasi setatus kesehatannya (anamnesis dan pemeriksaan fisik)
2.      Status gizi
3.      Kapasitas fungsional
4.      Status psikososial
5.      Masalah khusus lainnya yg dihadapi secara individual



a.      Anamnesis
Dalam melkukan anamnesis harus secara akurat dan “ up to date”, termasuk pula mengenai bagaimana persepsi lansia tentang kesehatan dirinya sendiri. Anamnesis harus menjadi dasar bagi tindakan skrining yg akan diusulkan. Anamneis menjadi dasar bagi rencana manajemen keperawatannya. Kebanyakan para lansia dapat menyuguhkan anamnesis yg baik, tetapi tidak sedikit pula yg mengalami hambatanuntuk berkomunikasi (misalnya akibat tuli, menurunnya fungsi intelektual/pikun, menurunnya penglihatan) dimana dalam keadaan seperti ini diperlukan  bantuan kerabat untuk memperoleh anamnesis yg akurat. Sebaliknya tak jarang pula keluhan mereka yg beraneka ragam bisa membuat siperawat frustasi atau malah mengaburkan bahkan tak terlaporkan.
Riwayat masa lalu juga penting untuk membantu mendapatkan masalah kesehatan saat ini dalam perspektif  yg tepat. Penting pula diperhatikan tentang riwayat pemakaian obat-obatan karena bila lansia diberikan berbagai macam resep obat jarang memprotes bahkan juga sering mengobati dirinya sendiri. Anamnesis dilakukan secara sistematis (dilakukan menurut sistem tubuh) dengan tetap fokus pada keluhan utamanya
Tabel .1 Jenis keluhan pada lansia menurut pendekatan sistemik
Sistem
Keluhan yg khas
Respirasi
Sesak nafas yg progresif, batuk yg menetap
Kardiovaskuler
Ortopnea, edema, angina, klaudikasio, palpitasi, pusing, sinkop
Gastrointestinal
Sulit mengunyah, sulit menelan, nyeri perut, perrubaha defekasi
Genitourinaria
Poliuri, urgensi, nokturia tak lampias, intermitten, perlu usaha untuk pengosongan, inkontinensia, hematuri, pendarahan per vaginam.
Muskuloskeletal
Nyeri lokal/difus, lumpuh/lemah lokal/difus, gangguan sensitivitas
Neurologis
Gangguan penglihatan (sementara/progresif)
psikologis
Depresi, ansietas, agitasi, paranoid, pikun, kebingungan.

b.      Pemeriksaan fisik pada lansia
Tata cara pemeriksaan fisik dilakukan sebagaimana halnya prosedur yg ditempuh dalam kelompok usia lainnya. Namun dalam melakukan pengkajian fisik pada klien lansia secara efektif memerlukan penilaian terhadap status kesehatannya secara tepat. Seperti biasa pemeriksaan fisik mencakup inspeksi,  palpasi,  perkusi dan auskultasi.
Pemeriksaan fisik  umum pada lansia ditujukan untuk dapat mengidentifikasi keadaan umumnya dengan penekanan pada tanda-tanda vital, keadaan gizi, aktivitas tubuh baik dalam keadaan berbaring atau berjalan. Pemeriksaan fisik umum mencakup berbagai hal antara lain: penilaian status mental, kesadaran, bahkan termasuk pula kondisi  kulit  dan kelenjar getah bening.  Pemeriksaan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi daan auskultasi dilakukan sesuai yg diperlukan.
Inspeksi dilakukan menyeluruh, namun dengan cara terfokus, serta dilakukan dengan tidak mengabaikan sikap perawat yg menghargai lansia, observasi yg menyeluruh diarahkan pada hal-hal berikut :
1.      Membandingkan usia kronologis terhadap  usia sekarang
2.      Aspek gender, suku
3.      Perkembangan perawatan
4.      Kebersihan (cara berdandan)
5.      Ekspresi wajah, cara berbicara
6.      Pengamatan pada daerah kulit, dilihat keriput/kerut-kerut, warna kulit keabu-abuan, kering dan rambut rapuh
7.      Gerakan melambat, menggunakan alat bantu ambulasi dan memperlihatkan langka-langkah yg kaku
8.      Diamati pula perihal berat dan tinggi badan, apakah sesuai, bentuk dan bagian-bagian tubuh apaka simetris
9.      Gejala seperti tremor, kontraktur, gerakan-gerakan asimetris, posttur kaki, pergelangan dan jari-jari tangan
10.  Inspeksi didaerah leher apakah terdapat otot-otot/ tendon yg menonjol, juga adanya redistribusi lemak
11.  Kesan umum tentang perkembangan badan, apakah tampak terlalu tinggi/ terlalu pendek, terdapat penurunan massa otak ataupun kegemukan
12.  Pengamatan terhadap kebersihan/ kerapian antara lain: rambut, kuku atau bau badan
Pemeriksaan fisik sering kali perlu dilengkapi dengan pemeriksaan laboratorium, agar dapat memberikan gambaran yg tepat tentang status kesehatan atau penyakit/gangguan yg diderita saat ini. Temuannya biasa berupa gambaran gambaran patologis yg multiple beserta perubahan-perubahan akibat proses menua. Adapun pemeriksaan fisik menurut sistem tubuh dapat menggunakan pola head to toe, yaitu pemeriksaan dari ujung kepala sampai ujung kaki namun untuk dapat mengarahkan pada berbagai gangguan yg sering terdapat pad lansia dapat dianjurkan untuk mempedomani pemeriksaan terfokus pada beberapa sistem tubuh seperti yg terdapat pada tabel.2
Tabel. 2 Temuan fisik pada pengkajian head to toe
sistem
Temuan pemeriksaan fisik
Integumen
·         Lemak sbkutan menyusut
·         Kulit kering dan tipis, rentan terhadap trauma dan iritasi, serta lambat sembuh
Mata
Arcus senilis, penurunan visus
Telinga
Pendengaran berkurang yg selanjutnya dapat berakibat gangguan bicara
Kardiopulmonar
·         Curah jantung berkurang serta elastisitas jantung dan pembuluh darah berkurang, terdengar bunyi jantung IV (S4) dan bising sistolik, kapasitas vital paru, volume ekspirasi, serta elastisitas paru-paru berkurang
·         Walaupun tak ada kelainan paru namun dapat terdengar ronki basal
Maskuloskeletal
·         Massa tulang berkurang(lebih jelas pada wanita), jumlah dan ukuran otot berkurang
·         Massa tubuh banyak yg tergantikan oleh jaringan lemak yg disertai pula oleh kehilangan cairan
Gastrointestinal
Mobilitas dan absorpsi saluran cerna berkurang, daya pengecap dan produksi saliva menurun
Neurologikal
Rasa raba berkurang, arm swing, langkah menyempit dan pada pria agak melebar. Selain itu terdapat potensi perubahan pada status mental

1)      Pemeriksaan fisik umum
1.      Kesadaran
Dalam kaitan ini klien/pasien dapat menunjukkan tingkat kesadaran baik (tak ada kelainan/ gangguan kesadaran), atau keadaan umum pasien baik. Keadaan umum tanpak sakit (ringan, sedang atau berat). Klien bereaksi terhadap rangsangan (stimulus) tertentu, misalnya rangsangan nyeri pada tubuh dengan dicubit kemudian amatilah reaksi yg muncul. Bila reaksi wajar berarti baik. Bila reaksi lamban/ lemah atau tidak kontinu, berarti kesadarannya tingkat sedang. Dan bila tidak ada reaksi sama sekali kesadaran menurun.
Gangguan kesadaran tingkat ringan atau tingkat sedang harus dibedakan dari kondisi klien lansia yg sedang tidur. Bila tidur, biasanya dapat terbangun pada perangsangan ringan/sedang. Lansia yg koma tak ada reaksi terhadap berbagai bentuk rangsangan. Adapun tingkat kesadaran dibagi menjadi beberapa bagian sebagai berikut :
a)      Kompos mentis (normal)
b)      Somnolen
c)      Sopor
d)     Soporo koma
e)      Koma
Bila lansia menunjukkan gangguan tingkat kesadaran (pada umumnya dijumpai pada penderita gawat darurat) cara yg lazim digunakan untuk mengevaluasi tingkat kesadaran dengan kata lain cara menentukan tingkat kelainan neurologis adalah dengan menggunakan skala glasglow, yaitu GCS (glasglow coma scale). Disini kondisi neurologis dinilai berdasarkan 3 faktor. Reaksi untuk membuka mata, respon verbal, dan respon motorik.
2.      Tanda vital
Pemeriksaan tanda-tanda vital (vital sign) meliputi pemeriksaan nadi( kecepatan nadi per menit) juga pemeriksaan tekanan darah ( yg terdiri atas tekanan sistolik dan diastolik). Pemeriksaan tekanan darah dapat dilakukan secara palpatoir atau auskultatoir.
3.      Sistem integument
Selain yg tertera pada tabel.2, dapat diperhatikan pula tentang ada tidaknya anemia, ikterus, sianosis, serta lesi primer dan lesi skunder. Lesi primer pada kulit antara lain : makula, papula, mesikula, pustula, bula, nodul dan tumor. Sedangkan lesi skunder antara lain berupa : skuama, ekskoriasi, fisura, krusta, sikatriks dan ulkus. Perubahan lainnya beruba perubahan kulit lokal : angioma, nevi, striae, kebotakan pada rambut, edema, turgor, berkeringat dan atrofi.


4.      Pengkajian status gizi
Pada lansia perlu mewaspadai status gizi yg menurun, mengingat prevalensi malnutrisi yg tinggi dikalangan mereka, yaitu sebesar 10% -50%. Malnutrisi ini merupakan faktor utama bagi timbulnya kesakitan dan kematian khususnya bagi mereka yg tinggal di panti. Selain itu seringkali status gizi dikalangan lansia ini diabaikan orang. Malnutrisi sendiri merupakan masalah yg multifaktor yaitu meliputi faktor fisik, sosial dan ekonomi. Bagi lansia yg tinggal sendiri sering kali mengalami kurang makan khususnya pada gilongan pria.
Selanjutnya gangguan kognitif da suasana hati (mood) juga tidak jarang mengubah kebiasaan makan dan intake gizi secara normal. Di negara maju, terdapat skitar 10% lansian yg memiliki kebiasaan mengonsumsi alkohol dimana kenyataan ini sering tidak dihiraukan oleh perawatnya padahal alkohol sendiri berakibat kurangnya nafssu makan. Pada umumnya masalah kurang gizi pada lansia berupa kurang energi kronis (KEK), anemia, dan kekurangan zat gizi mikro yg lain.
Dapat dikatakan bahwa masalah gizi pada lansia untuk sebagian besar merupakan rangkaian masalah gizi yg telah ada sebelumnya dan manifestasinya timbul setelah klien menjadi tua. Selain itu dari banyak penelitian yg telah dilakukan ternyata ditemukan bahwa kebanyakan masalah gizi pada lansia berupa masalah gizi lebih atau kegemukan (obesitas) yg pada gilirannya memacu timbulnya penyakit-penyakit degeneratif seperti: penyakit jantung koroner, hipertensi, diabetes, batu empedu, gout (rematik), penyakit ginjal, sirosis hati, dan penyakit-penyakit keganasan (kanker).
Lansia yg mengalami obesitas ditemukan lebih sering pada wanita dibanding peria, yaitu sebesar 26,1% : 15,6% (survei IMT, depkes 1997). Menurut para pakar ilmu gizi, dikatakan bahwa selain kegemukan secara menyeluruh, kegemukan didaerah perut lebih beresiko,. Kelebihan lemak diperut dihubungkan dengan meningkatnya resiko menderita penyakit jantung koroner. Khusus mengenai hal ini dikenakan ukuran rasio pinggang/ panggul yaitu merupakan hasil bagi antara lingkar perut (mulai pusar) dengan lingkar pinggul (lingkaran terbesar). Rasio yg jauh dibawah 1 (pada pria) atau 0,8 (pada wanita) merupakan faktor resiko tinggi. Menurut monika (1992) kegemukan meningkatkan resiko tinggi menderita PJK sebesar 1-3 kali, penyakit hipertensi sebesar 1,5 kali, penyakit diabetes sebesar 2,9 kali dan penyakit empedu sebesar 1-6 kali.
Perlu ditegaskan bahwa status gizi penting bagi lansia, berikut ini adalah kegunaan status gizi.
1.      Untuk memperoleh respon umum terhadap masuknya antigen asing
2.      Untuk dapat mempertahankan struktur dan anatomi
3.      Untuk dapat berfikir jernih
4.      Untuk dapat memperoleh energi cadangan bagi keperluan sosialisasi serta aktifitas jasmani
Beberapa perubahan fisiologis yg terkait dengan proses penuaan dan dapat memengaruhi status gizi adalah sebagai berikut :
1.      Penurunan penciuman dan pengecapan
2.      Gangguan guigi gerigi
3.      Berkurangnya produksi saliva sampai sebesar 1/3 kali produksi pada usia muda
4.      Gangguan refleks menelan (lemah)
5.      Kurang toleran terhadap lemak
6.      Peristaltik menurun
7.      Rendahnya produksi asam lambung yg khususnya terkait dengan menurunya pencernaa dan absorpsi vitamin, zat besi, zink, dan kalsium.
Secara fisiologis mengingat basal metabolisme rate (BMR) yg rendah seiring dengan bertambahnya usia, maka kebutuhan nutrisinya menurun (disamping berkurangnya aktivitas fisik). RDA untuk kalori : 2.300 untuk lansia kurang dari 75 tahun dan 2.050 kalori untuk usia lebih dari 75 tahun, dimana 58% dari karbohidrat, 30% dari lemak dan 12% dari protein. Lansia juga memerlukan ekstra vitamin D, B6, dan kalsium untuk terhindar dari osteoporosis. Kebutuhan akan serat kira-kira 35 gram/hari.
Pengkajian berat badan, tinggi badan, dan struktur tubuh penting, mengingat pola pertambahan dan pengurangan berat badan dapat memengaruhi kondisi kesehatan lansia secara keseluruhan,. Pada kelembagaan (panti jompo dan sejenisnya), perawat perlu melakukan pengamatan tentang pola defekasi dari para jompo, terutama bila mereka sendiri tidak dapat menginformasikannya. Pada lansia tidak jarang terjadi anemia, namun masih dalam bats normal. Dalam hal ini perlu mempertimbangkan kondisi kesehatan lansia secara umum. Penjelasan tentang hal ini antara lain bahwa hasil laboratorium darah bisa meningkat secara semu pada keadaan dehidrasi.
Tabel. 3 Pedoman pengkajian pencernaan dan nutrisi
Kajian tentang kenyamanan rongga mulut dan mengunyah
1.      Apakah terdapat sariawan atau perdarahan mulut ?
2.      Apakah sakit gigi ? ngilu pada rangsang dingin atau panas ?
3.      Apakah gusi berdarah ?
4.      Apakah sulit mengunyah atau menelan, dan adakah jenis makanan yg dihindari karena hal ini ?
5.      Apakah mulut/lidaah merasa kering ?

Kajian tentang perawatan gigi
1.      Sering mengunjungi dokter gigi ? kapan teakhir kalinya ? dimana ?
2.      Bila tidak pernah dalam setahun, tanyakan sebabnya
3.      Bagaimana ia merawat giginya ?
Kajian kebutuhan nutrisi
1.      Adakah menderita penyakit yg memerlukan modifikasi diet ? (DM, jantung)
2.      Adakah alergi terhadap makanan tertentu ?
3.      Obat-obatan apa yg digunakan sekarang ?

Kajian belanja kebutuhan pangan
1.      Bagaimana melakukannya ?
2.      Apakah ada yg membantu belanja ?
3.      Apakah ada masalah dengan kegiatan ini ? (akibat pengelihatan, berjalan, transfortasi)

Kajian tentang persiapan hidangan dan pola konsumsi
1.      Dimana anda makan, dengan siapa ?
2.      Apakah ada yg membantu masak ?
3.      Adakah kesulitan menyiapkan hidangan ? ( misalnya membuka makanan kalengan )
4.      Adakah kesulitan berlalu-lalang di dapur, menggunakan peralatan dapur ?
5.      Adakah perubahan pola makan dan masak ?

Tabel. 4 Perilaku terhadap nutrisi dan pencernaan
Perilaku terhadap nutrisi dan pencernaan
1.      Apakah lansia tanpak menikmati makannya bersama yg lain atau merasa diganggu oleh yg lain ?
2.      Bila memakai gigi palsu, apakah dicopot waktu makan ? kenapa ?
3.      Adakah mengemil diantara waktu-waktu makan dan bagaimanan pola minumnya ?
4.      Adakah tersedia minuman ringan tanpa kafein ?
5.      Adakah petunjuk mengenai pengaruh budaya dalam memilih/ memasak makanan ?

Amati situasi makan
1.      Adakah pengaruh lingkungan/ sosial terhadap kenyamanan diwaktu makan ? (ruang makan berisik, terganggu oleh pihak lain)
2.      Apakah lansia makan sendiri atau memerlukan intraksi sosial ?

2)      Pemeriksaan fisik umum
Pemeriksaan fisik per sistem secarra berurutan mulai dari kepala, leher, mata, THT, mulut/tenggorokan, torak (pernapasan dan paru), kardiovaskular (jantung dan pembuluh darah), abdomen serta ekstremitas atas dan bawah.
a)      Pengkajian sistem perkemihan
Proses penuaan pada ginjal, kandung kemih, uretra, dan sistem persarafan memengaruhi fisiologi pengeluaran urine. Proses penuaan dapat mengarah pada terjadinya inkontinensia. Faktor risiko untuk timbulnya inkontinensia meliputi obat-obatan, kondisi patologis, psikososial, serta kelainan kognitif dan fungsional. Beberapa obat-obatan serta mekanisme kerjanya sehingga terjadi inkontinensia, seperti yg tertera pada tabel. 5







Tabel. 5 Mekanisme kerja obat inkontinensia
Jenis obat
Mekanisme kerjanya
Diuretika
Memperlancar berkemih, menyebabkan urgens, frekuensi, dan poliuria
Obat anti kholinergik (antihistamin, antipsikotik, antidepresan, antispasmodic, antiparkinson)
Menurunkan kontraksi kandung kemih, mengakibatkan retensi urine, inkontinensia dan sebagainya
Adrenergic (dikongestan)
Mengurangi kontraksi kandung kemih, dalam jangaka lama bisa mengakibatkan inkontinensia
Obat hipnotik dan antiansietas
Inkontinensia, delirium
Alkohol
Diuresis, delirium, gangguan kognitif dan inkontinensia

Ø  Pengkajian faktor resiko yg memengaruhi eliminasi urine
1.      (pria)      : apakah pernah operasi prostat/ kandung kemih ?
2.      (pria)      : adakah riwayat penyakit prostat ?
3.      (Wanita) : apakah lansia punya anak ? (bila ya , berapa dan adakah masalah pada waktu partus dulu)
4.      (wanita) : pernahkan dioperasi panggul, kandung kemih/ uterus ?
5.      (wanita) : adakah infeksi pada traktus genital ?
6.      Adakah nyeri/ rasa tak nyaman waktu berkemih ?
7.      Adakah penyakit kronis, obat apakah yg dipakai ?
8.      Berapa banyak minum sehari ? (tanyakan jumlah dan jenis)

Ø  Pengkajian faktor resiko tidak langsung
1.      Adakah kesulitan untuk berjalan/ gangguan keseimbangan ?
2.      Bila berada di tempat umum adakah mengalami kesulitan ketoilet ?

Ø  Pengkajian gejala dan keluhan disfungsi urine
1.      Bisakah menahan kemih sebelum mencapai toilet ? (berapa lama) bagaimana bila batuk dan sejenisnya ?
2.      Apakah perlu selalu bangun berkemih malam hari ?
3.      Setelah berkemih apakah merasa tidak lampias ?
4.      (pria) : sulit mulai berkemih

Ø  Pengkajian inkontinensia
1.      Kapan mulainya ?
2.      Apa tindakan anda untuk mengatasinya ? (dengan cara membatasi minum/sering berkemih)
3.      Adakah sesuatu hal tertentu yg memperburuk atau dapat menguranginya ?
4.      Apakah sakit waktu berkemih ?
5.      (wanita) : adakah merasa tekanan di daerah panggul ?

Ø  Pengkajian tentang rasa takut, sikap, konskuensi psikososial
1.      Sudahkan mencari pengobatan ?
2.      Apakah merasa selalu perlu berada dekat dengan toilet ?
3.      Apakah menghindari bepergian karena hal itu ?


c.       pengkajian sistem pernapasan
Pengkajian sistem pernapasan dilakukan atas dasar pemahaman terhadap proses penuaan yg terjadi pada sistem pernapasan. Hal ini mencakup :
a.       Perubahan pada saluran pernapasan atas
b.      Diameter dinding
c.       Dinding dada kaku
Bentuk kelainan yg dikaji meliputi adanya pernapasan dengan menggunkan otot napas tambahan, pernapasan yg memerlukan tenaga, pernapasan yg kurang efisien, menurunnya refleks batuk, serta lansia menjadi lebih rentan terhadap infeksi saluran nafas bagian bawah (ISPB). Adapun faktor resiko yg ditemukan antara lain berupa merokok, polusi udara, atau polusi akibat keterpaparan (exposure) dari lingkungan pekerjaan seperti asbestosis.


d.      pengkajian mobilitas
Pengkajian mobilitas dilakukan atas dasar pemahaman terhadap prosespenuaan yg terjadi pada mobilitas. Hal ini mencakup :
a.       Berkurangnya massa otot
b.      Jaringan ikat mengalami perubahan degeneratif
c.       Osteoporosis
d.      Perubahan pada susunan saraf
Bentuk keelainan yg dikaji meliputi adanya penurunan kekuatan, daya tahan, koordinasi gerak otot, adanya hambatan gerak sendi, rawan jatuh dan rawan fraktur. Adapun faktor resiko yg ditemukan antara lain berupa osteoporosis terutama pada wanita, mereka yg kurang bergerak, serta lansia dengan kelainan kekurangan kalsium, gangguan ini sring menyerang tulang-tulang kecil terutama ditemukan pada mereka yg bertubuh kurus.

e.       pengkajian sistem kulit/ integument
Pengkajian sistem kulit/ integumen dilakukan atas dasr pemahaman terhadap proses penuaan yg terjadi pada sistem kulit/ integumen. Hal ini mencakup :
a.       Pertumbuhan epidemis melambat, kulit kering, epidemis menipis
b.      Berkurangnya vaskularisasi
c.       Berkurangnya melanosit dan kelenjar-kelenjar pada kulit
Bentuk kelainan yg dikaji meliputi adanya kulit kering, keriput, luka sulit menyembuh, mudah mengalami luka bakar serta trauma dan infeksi. Selain itu, biasanya juga terdapat adanya perubahan termoregulasi, peka terhadap kanker kulit, dan kuku mengalami trauma/ injuri. Adapun faktor resiko yg biasa ditemukan antara lainberupa : terkena sinar ultraviolet, frekuensi kebiasaan mandi, serta keterbatasan aktivitas.

f.       pengkajian pola tidur
Pengkajian pola tidur dilakukan atas dasar pemaham terhadap proses penuaan yg terjadi pada pengkajian pola tidur . hal ini mencakup perubahan siklus tidurseiring penuaan. Bentuk kelainan yg dikaji meliputi adanya berbagai konsekuensi fungsional berupa : susah tidur pulas, sering terbangun serta kualitas tidur yg rendah. Selain itu dikaji pula tentang lansia berada lama ditempat tidur serta jumlah total waktu tidur per hari yg berkurang.
Adapun faktor resiko yg ditemukan antara lain berupa : nyeri ketidaknyamanan, alkoholik,pemakaian obat tidur serta adanya faktor lingkungan seperti: kegaduhan dan penyakit sistemik yg berdampak lansia sering berkemih dimalam hari.

g.      pengkajian status fungsional
Pengkajian satus fungsional sangan penting terutma ketika terjadi hambatan pada kemampuan lansia dalam melaksanakan fungsi kehidupan sehari-harinya. Aktivitas kehidupan harian yg dalam bahasa inggris disingkat ADL (aktivity of daily living) adalah merupakan aktivitas pokok bagi parawatan diri. ADL meliputi antara lain : ke toilet, makan, berpakaian (berdandan), mandi, dan berpindah tempat. Pengkajian ADL penting untuk mengetahui tingkat ketergantungan. Dengan kata lain besarnya bantuan yg diperlukan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari serta untuk menyusun rencana perawatan jangka panjang. Dalam hal ini terdapat pula ADL instrumen yaitu merupakan aktivitas yg lebih kompleks namun mendasar bagi situasi kehidupan lansia dalam bersosialisasi termasuk kegiatan belanja, masak, pekerjaan rumah tangga, mencuci, telepon, menggunakan sarana transfortasi, mampu menggunakan obat secara benar, serta menejemen keuangan. Dengan demikian lansia diharapkan dapat terus bersosialisasi. ADL instrumen yg meliputi kemampuan : menggunakan telepon, berjalan, berbelanja, memasak, membenahi rumah, mencuci, dan mengatur konsumsi obat. Pengkajian ADL umumnya mengikuti indeks pengukuran yg dikembangkat oelh Barthel dan Kets. Indeks ini didasarkan pada hasil evaluasi terhadap tingkat kemandirian atau sebaliknya yaitu tingkat ketergantungan secara fungsional. Indeks terdiri atas 7 tingkat, sebagai hasil penilaian terhadap perihal melakukan kegiatan mandi, berpakaian, ke toilet, beranjak, kontinensia dan makan (lihat tabel. 6).





Tabel. 6 Indeks tingkat kemandirian/ ketergantungan pada lansia
Tingkat A. Mandiri pada ke-7 jenis aktivitas
Tingkat B. Mandiri pada 6 jenis aktivitas
Tingkat C. Ketergantungan dalam hal mandi plus salah satu yg lain
Tingkat D. Ketergantungan dalam hal mandi, berpakaian plus salah satu lainnya
Tingkat E. Ketergantungan dalam hal mandi, berpakaian, ke toilet plus salah satu lainnya
Tingkat F. Ketergantungan dalam hal mandi, berpakaian, ke toilet dan transferring plus salah 
                  Satu lainnya
Tingkat G. Ketergantungan pada ke-7 fungsi
Lain-lain : bila terdapat ketergantungan pada 2 fungsi atau lebih yg tidak termasuk dalam
                  C,D,E dan F
            Adapun kemandirian disini dihubungkan dengan kemampuan klien dalam melakukan fungsi tanpa memerlukan supervisi, petunjuk maupun bantuan aktif dengan pengecualian seperti dicantumkan dalam definisi diatas. Untuk menetapkan apakah salah satu fungsi tersebut mandiri atau dependen ( memperlihatkan tingkat ketergantungan) diterapkan standar sebagai berikut :
1.      Tentang mandi, dinilai kemampuan klien untuk menggosok/ membersihkan sendiri seluruh bagian badannyan, atau dalam hal mandi dengan pancuran (slower) atau deengan cara masuk dan keluar sendiri dari bath tub. Dikatakan mandiri, bila dalam melakukan aktivitas ini klien hanya memerlukan bantuan untuk menggososk/ membersihkan sebagian anggota badannya  dikatakan dependen
2.      Dalam hal berpakaian, dikatakan mandiri apabila mampu mengambil sendiri pakaian dalam lemari atau laci misalnya, Mengenakan sendiri bajunya, memasang kancing atau resleting  (mengikat tali sepatu, dikecualikan)
3.      Ke  toilet, dikatakan mandiri bila lansia mampu ke toilet sendiri, beranjak dari kloset, merapikan pakaian sendiri, membersihkan sendiri organ ekskres.
4.      Transferring, dikatakn mndiri bila mampu naik turun sendiri ke tempat tidur dan atau kursi roda. Bila hanya memerlukan sedikit bantuan atau bantuan yg bersifat mekanis, tidak termasuk.
5.      Kontinensia, torgolong mandiri bila mampu buang hajat seendiri (urinasi dan defekasi)
6.      Makan, dikatakan mandiri jika mampu menyuap makanan sendiri, mengambil dari piring. Dalam penilaian tidak termasuk dalam hal mengiris potongan daging.

h.      Pengkajian Status Psikososial
Adapun pengkajian fungsi psikososial dilakukan melalui observasi, wawancara daan pemeriksaan status mental (menurut folstein). Informasi yg dihimpun meliputi fungsi kognitif, psikomotor, pandangan dan penalaran, serta kontak dengan realita (black, 1990)
Pemeriksaan ini dilakukan untuk dapat menentukan pikiran serta proses mental, apakah lansia mampu memperlihatka fungsi optimal. Bila lansia mengalami suatu serangan penyakit atau gangguan tertentu maka perlu diidentifikasi hal-hal sebagai berikut :
1.      Evaluasi kesadaran dan orientasi
2.      Aspek kognitif, alam perasaan dan efek, termasuk pula observasi terhadap perilaku dan respon terhadap pertanyaan yg diajukan.
Observasi dilakukan secara biasa (natural) tidak bersifat mengancam, serta dengan mempertimbangkan aspek etnik (adat-istiadat). Rincian tentang item-item yg dilakukan dalam pengkajian secara menyeluruh pada klien lansia, meliputi hal-hal sebagai berikut :
1.      Apakah pasien dapat bermanuver secara aman dan bertujuan, dengan pengertian tidak ragu-ragu, maju mundur, serta tidak memperlihatkan fostur atau gerakan-gerakan yg agresif.
2.      Apakah pasien menunjukkan kontak mata, menampilkan ekspresi wajah secara tepat.
3.      Apakah ekspresi menunjukkan ansietas, nyeri, apatis, bermusuhan, takut, dan mudah beralih perhatian.
4.      Observasi mengenai ekspresi wajah, antara lain ditunjukkan pada eye contact, klien tanpak arif dimana menampilkan ekspresi yg tepat sesuai dengan materi percakapan, kadang-kadang tanpak seperti ada bayangan gelap disekitar mata.
5.      klien kadang-kadang menyembunyikan mulut dengan tangan, takut, merintih/ nyeri, pucat berkeringat.
6.      Ada tidaknya gambaran asimetris akibat parlisis, kontraktur, atrofi otot.
7.      Dalam hal bicara, apakah terdapat kesulitan dalam merespons pertanyaan/ instruksi-instruksi yg diajukan oleh perawat. Kadang-kadang klien terlalu banyak bicara atau bila mengelak, dilakukan berulang-ulang. Artikulasi : terdapat bunyi khusus pada saan berbicara. Amati apakah variasi topik bicaranya tepat. Apakah ada keragu-raguan , gagap atau bicara monoton.

i.        Penfkajian aspek spiritual
Terdapat indeks yg dirancang untuk mengukur upaya yg dilakukan secara individual dalam pencarian arti dan makna kehidupan. Hal ini mencakup segi apersepsi terhadap makna kehidupan yg lebih mendalam, serta bagaimana seseorang menempatkan dirinya dalam lingkungan alam. Indeks tersebut meliputi :

Tabel. 7 Indeks untuk mengukur upaya yg dilakukan secara individual dalam pencarian arti dan makna kehidupan
·         Perasaan individu tentang kehidupan keagamaannya ( shalat dan/berdo’a)
·         Melakukan kewajiban-kewajiban agar berkontemplasi tentang makna kehidupan menurut agama dan kepercayaannya
·         Bagaimana seseorang merefleksikan arti kehidupan yg dijalaninya
·         Apakah nilai-nilai keberagamaannya menuntun kehidupannya sehari-hari
·         Apakah nilai keberagamaannya dapat menuntun jawaban tantangan-tantangan dalam kehidupan
·         Mengetahui bahwa nilai spiritualnya merupakan suatu proses yg berlangsung terus selama hayat
·         Apakah seseorang itu peduli tentang isu-isu kemanusiaan ?
·         Apakah seseorang itu menyenangi bila sewaktu-waktu terlibat dalam diskusi tentang nilai-nilai keagamaan ?
·         Apakah kewaspadaan agama  juga muncul disaat seseorang berada diluar masa kritis ?
·         Apakah yg bersangkutan meyakini tentang konsep keimanan terhadap tuhan penciptaanya ?
·         Apakah terdapat keinginan untuk membagi nilai-nilai spiritual yg dijalaninya bersama orang lain ?
2.      DIAGNOSA
1.      Risiko perubahan suhu tubuh (Risiko perubahan keseimbangan suhu): ketidakefektifan respon pendingin (Hipertermia)
2.      Risiko perubahan suhu tubuh (Risiko perubahan keseimbangan suhu): kehilangan panas berlebihan (Hipotermia)
3.      Risiko perubahan suhu tubuh (Risiko perubahan keseimbangan suhu): ketidakefektifan respon penghangatan

3.      INTERVENSI KEPERAWATAN
1.      Risiko perubahan suhu tubuh (Risiko perubahan keseimbangan suhu): ketidakefektifan respon pendingin (Hipertermia)
Hipertermia

Definisi : suhu tubuh naik diatas rentang normal

Batasan Karakteristik:
·         kenaikan suhu tubuh diatas rentang normal
·         serangan atau konvulsi (kejang)
·         kulit kemerahan
·         pertambahan RR
·         takikardi
·         saat disentuh tangan terasa hangat

Faktor faktor yang berhubungan :
-          penyakit/ trauma
-          peningkatan metabolisme
-          aktivitas yang berlebih
-          pengaruh medikasi/anastesi
-          ketidakmampuan/penurunan kemampuan untuk berkeringat
-          terpapar dilingkungan panas
-          dehidrasi
-          pakaian yang tidak tepat
NOC : Thermoregulation
Kriteria Hasil :
v  Suhu tubuh dalam rentang normal
v  Nadi dan RR dalam rentang normal
v  Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing

NIC :
Fever treatment
§  Monitor suhu sesering mungkin
§  Monitor IWL
§  Monitor warna dan suhu kulit
§  Monitor tekanan darah, nadi dan RR
§  Monitor penurunan tingkat kesadaran
§  Monitor WBC, Hb, dan Hct
§  Monitor intake dan output
§  Berikan anti piretik
§  Berikan pengobatan untuk mengatasi penyebab demam
§  Selimuti pasien
§  Lakukan tapid sponge
§  Kolaborasipemberian cairan intravena
§  Kompres pasien pada lipat paha dan aksila
§  Tingkatkan sirkulasi udara
§  Berikan pengobatan untuk mencegah terjadinya menggigil




2.      Risiko perubahan suhu tubuh (Risiko perubahan keseimbangan suhu): kehilangan panas berlebihan (Hipotermia)
Hipotermia

Definisi: suhu tubuh berada  dibawah kisaran normal
Batasan karateristik
·         Suhu tubuh dibawah kisaran normal
·         Kulit dingin
·         Dasar kuku sianotik
·         Hipertensi
·         Pucat
·         Piloreksi
·         Menggigil
·         Pengisian ulang kapiler lambat
·         Takikardi
Faktor yang berhubungan
·         Penuaan
·         Konsumsi alkohol
·         Kerusakan hipotalamus
·         Penurunan kemampuan mengigil
·         Penurunan laju metabolisme
·         Penguapan/evaporasi kulit
Dilungkungan yang dingin
·         Pemajanan lingkungan yang dingin
·         Penyakit
·         Tidak beraktivitas
·         Pemakaian pakaian yang tidak adekuat
·         Malnutrisi
·         Medikasi
·         Trauma
·          
NOC
·         Thermoregulasi
·         Thermoregulation: neonate
kriteria Hasil
·         Suhu tubuh dalam rentang normal
·         Nadi dan RR dalam rentang normal
NIC
Temperature regulation
·         Monitor suhu minimal tiap 2 jam
·         Rencanakan menitoring suhu secara kontinyu
·         Monitor TD, nadi, dan RR
·         Monitor warna dan suhu kulit
·         Monitor tanda-tanda hipertermia dan hipotermia
·         Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
·         Selimuti pasien untuk mencegah hilangnya kehangatan tubuh
·         Ajarkan pada pasien cara mencegah keletihan akibat panas
·         Diskusikan tentang pentingnya pengaturan suhu dan kemungkinan efek negatif dari kedinginan
·         Beritahukan tentang indikasi terjadinya keletihan dan penanganan emergency yang diperlukan
·         Ajarkan indikasi dari hipotermi dan penanganan yang diperlukan
·         Berikan anti piretik jika perlu vital sign monitoring

3.      Risiko perubahan suhu tubuh (Risiko perubahan keseimbangan suhu): ketidakefektifan respon penghangatan
Resiko ketidakseimbangan suhu tubuh
Definisi: berisiko mengalami kegagalan mempertahankan suhu tubuh dalam kisaran normal.
Faktor risiko
·         Perubahan laju metabolism
·         Dehidrasi
·         Pemajanan suhu lingkungan yang ekstrem
·         Usia ekstrem
·         Berat badan ekstrem
·         Penyakit yang mempengaruhi regulasi suhu
·         Tidak beraktivitas
·         Pakaian yang tidak sesuai untuk suhu lingkungan
·         Obat yang menyebabkan fasokontriksi
·         Obat yang meyebabkan vasodilatasi
·         Sedasi
·         Trauma yang memengaruhi pengaturan suhu
·         Aktivitas yang berlebihan
NOC
·         Termoregulasi
·         Termoregulasi: Newborn
Kriteria Hasil
·         Suhu kulit normal
·         Suhu badan 360 – 370C
·         TTV dalam batas normal
·         Hidrasi adekuat
·         Tidak hanya menggigil
·         Gula darah DBN
·         Keseimbangan asam basa DBN
·         Bilirubin DBN
NIC
·         Pengaturan suhu: mencapai dan atau mempertahankan suhu tubuh dalam range normal
·         Pantau suhu bayi baru lahir sampai stabil
·         Pantau tekanan darah, nadi, dan pernafasan dengan tepat
·         Pantau dan warna-warna suhu kulit
·         Pantau dan laporkan tanda dan gejala hipotermia dan hipertermia
·         Tingkatkan keadekuatan masukan cairan dan nutrisi
·         Gunakan matras panas dan selimut hangat yang disesuaikan dengan kebutuhan
·         Berikan pengobatan yang tepat untuk mencegah atai control menggigil
·         Gunakan matras sejuk dan mandi dengan air hangat untuk menyesuaikan dengan suhu tubuh dengan tepat.






4.      IMPLEMENTASI
Implementasi merupakan kategori dari perilaku keperawtan, di mana perawat melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan (Potter dan Perry 1997). Implementasi mencakup melakukan, membantu, atau mengarahkan kinerja aktivitas sehari-hari. Dengan kata lain, implementasi adalah melakukan rencana tindakan yan telah ditentukan untuk mengatasi masalah klien.
Komponen implementasi dari proses keperawatan terdiri atas lima tahap:
1.      Mengkaji ulang klien
2.      Menelaah dan memodifikasi rencana asuahan keperawatan yang ada
3.      Mengidentifikasi jenis bantuan yang dibutuhkan
4.      Mengimplementasikan intervensi keperawatan
5.      Mengomunikasikan intervensi keperawatan.
Pada tiga prinsip pedoman implementasi asuhan keperawatan, ayitu:
1.      Mempertahankan keamanan klien
2.      Memberikan asuhan yang efektif
3.      Memberikan asuhan seefesien mungkin

5.      EVALUASI
Evaluasi merupakan keputusan atau mendapat tentang data (Carpenito dan Moyet 2007). Dalam mengevaluasi data dan situasi, perawat harus mengetahui rentang nilai normal.
a.       Tipe-tipe Evaluasi
Ada tiga tipe evaluasi yang harus perawat lakukan dalam asuhan keperawatan kepada klien, meliputi:
1.      Evaluasi masalah kolaboratif.
2.      Evaluasi diagnosis keperawatan dan peningkatan pencapaian tujuan.
3.      Evaluasi dari status perencanaan keperawatan dan hasil yang didapat.



0 comments: