Monday, 27 July 2015

Askep fraktur

ASKEP AMPUTASI



A.    PENDAHULUAN

Fraktur adalah masalah yang akhir-akhir ini sangat banyak menyita perhatian masyarakat, pada arus mudik dan arus balik hari raya idulfitri tahun ini banyak terjadi kecelakaan lalu lintas yang sangat banyak yang sebagian korbannya mengalami fraktur. Banyak pula kejadian alam yang tidak terduga yang banyak menyebabkan fraktur. Sering kali untuk penanganan fraktur ini tidak tepat mungkin dikarenakan kurangnya informasi yang tersedia contohnya ada seorang yang mengalami fraktur, tetapi karena kurangnya informasi untuk menanganinya Ia pergi ke dukun pijat, mungkin karena gejalanya mirip dengan orang yang terkilir.
Umunya fraktur disebabkan oleh trauma atau aktivitas fisik di mana terdapat tekana yang berlebihan pada tulang. Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan umur di bawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor.
Jumlah korban kecelakaan lalu lintas di Indonesia cenderung turunan, yaitu 47.401 orang pada tahun 1989, menjadi 32.815 orang pada tahun 1995. Rasio jumlah korban cedera sebesar 16,80 per 10.000 penduduk dan rasio korban meninggal sebesar 5,63 per 100.000 penduduk. Anhka kematian tertinggi berada di wilayah Kalimantan Timur, yaitu 11,07 per 100.000 penduduk dan terendah di Jawa Tengah, yaitu sebesar 2,67 per 100.000 penduduk (Depkes, 1996).

B.     PENGERTIAN
Banyak sekali batasan yang dikemukakan oleh para ahli tentang fraktur. Fraktur menurut Smeltzer (2002) adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Demikian pula menurut Sjamsuhidayat (2005), fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulangdan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Sementara Doenges (2000) memnerikan batasan, fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Farktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Price, 1995). Sedangkan fraktur menurut Reeves (2001), adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh.
Berdasarkan batasan di atas dapat disimpulkan bahwa, fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang yang utuh, yang biasanya disebabkan oleh trauma/rudapaksa atau tenaga fisik yang ditentukan jenis dan luasnya trauma.
C.    ETIOLOGI
Farktur disebakan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan putir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ektrem (Smeltzer, 2002). Umumnya farktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang. Fraktur cenderung tarjadi pada laki-laki, biasanya fraktur terjadi pada umur di bawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan, atau luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Sedangkan pada orang tua, perempuan lebih sering mengalami fraktur dari pada laki-laki yang berhubungan dengan meningkatnya insiden osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon pada menopsuse (Reeves, 2001).

D.    PREVALENSI
Farktur lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan umur di bawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau kecelakaan. Sedangkan pada usia lanjut (Usila) prevalensi cenderung lebih banyak terjadi pada wanita berhubungan dengan adanya osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon.

E.     KLASIFIKASI FRAKTUR
Ada lebih dari 150 klasifikasi fraktur, pada table 3.1 dapat dilihat beberapa klasifikasi fraktur menurut beberapa ahli. Fraktur tertutup (fraktur simple) adalah fraktur yang tidak menyebabkan robekan kulit atau kulit tidak ditembus oleh fragmen tulang. Sedangkan terbuka (fraktur kompleks/komplikata/compound) merupakan fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa sampai ke patahan tulang. Konsep penting yang harus diperhatikan pada fraktur terbuka adalah apakah terjadi kontaminasi oleh lingkungan  pada tempat terjadinya fraktur tersebut (price, 1995).







Tabel 3.1         Klasifikasi Fraktur
Price (1995)
Sjamsuhidayat (1996)
Doenges (2000)
Reeves (2001)
Smeltzer (2002)
Tranversal
Tertutup
Incomplete
Tertutup
Komplit
Oblik
Terbuka
Complete
Terbuka
Tidak komplit
Spiral
Fisura
Tertutup
Komplit
Tertutup
Segmental
Serong
Terbuka
Retrak tak komplit
Terbuka
Impaksi
Sederhana
Patoligis
Oblik
Greenstick
Patoligik
Lintang

Spiral
Transversal
Greenstick
Sederhana

Tranversal
Oblik
Avulsi
Kominutif

Segmental
Spiral
Sendi
Segmental

Kominutif
Kominutif
Beban lainnya
Dahan hijau


Depresi

Kompresi


Kompresi

Impaksi


Patologik

Impresi


Avulsi 

Patologis


Efipiseal




Impaksi
Sumber: dimodifikasi dari Price (1995), Sjamsuhidayat (1997), Doenges (2000), Reeves (2001), dan Smeltzer (2002).

Sehingga fraktur terbuka terbagi dalam beberapa gradasi. Gradasi fraktur terbuka dibagi menajdi tiga; grade I dengan luka bersih kurang dari 1 cm panjangnya; grade II luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif; dan grade III sangat terkontaminasi serta mengalami kerisakan jaringan lunak ekstensif; merupakan yang paling berat (Smeltzer, 2002).
Fraktur komplit adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran (bergeser dari posisi normal). Sebaliknya fraktur tidak komplit terjadi ketika tulang yang patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.
Berdasarkan klasifikasi Price (1995), klasifikasi patah tulang ditinjau menurut sudut patah terdiri atas fraktur transversal, fraktur oblik, dan fraktur spiral. Fraktur transversal adalah fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang. Pada fraktur semacam ini, segmen-segmen tulang yang patah direposisi atau direduksi kenbali ke tempat semula, maka segmen-segmen itu akan stabil, dan biasanya mudah dikontrol denga bidai gips. Fraktur oblik adalah fraktur yang garis patahnya membentuk sudut terhadap tulang. Fraktur ini tidak stabil dan sulit di perbaiki. Sedangkan spiral adalh fraktur meluas yang menbgelilingi tulang (Reeves, 2001). Fraktur memuntir biasanya terjadi di seputar batang tulang (Smeltzer, 2002), timbul akibat torsi pada ektremitas dan merupakan jenis fraktur rendah energy yang hanya menimbulkan sedikit kerusakan jaringan lunak serta cenderung cepat sembuh dengan imobilisasi luar (Price, 1995).
Fisura, disebabkan oleh beban lama atau trauma ringan yang terus-menerus yang disebut fraktur kelelahan, misalnya diafisis metatarsal (Sjamsuhidayat, 1997). Fraktur impaksi adalah fraktur dimana fragmen tulang tulang terdorong kef ragmen tulang lainnya. Sedangkan fraktur kompresi adalah fraktur di mana antara dua tulang mengalami kompresi pada tulang ketiga yang berada di anataranya (terjadi pada tulang belakang).

Table. 3.2 derajat Patah Tulang Terbuka
Derajat
Luka
Fraktur
I
Laserasi < 2 cm
Laserasi < 1 cm, dengan luka
Bersih
Sederhana
Dislokasi
Fragmen minimal
II
Laserasi > 2 cm, kontusi otot
Di sekitarnya
Disloaksi
Fragmen jelas
III
Luka lebar
Rusak hebat atau hilangnya jaringan disekitarnya, terkontaminasi
Komunitif
Segmental
Fragmen tulang ada yang hilang
Sumber; Sjamsuhidayat, 1997

Farktur komunitif adalah fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa bagian serpihan-serpihan dimana terdapat lebih dari dua fragmen tulang. Sementara fraktur segmental adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang yang men yebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai darahnya. Untuk fraktur yan gtidak sempurna, di mana salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya membengkok dan sering terjadi pada anak-anak, dinamakan fraktur Greenstick.
Faraktur yang ditandai dengan tertariknya fregmen tulang oleh ligament atau tendon pada perlekatannya disebut fraktur avulasi. Fraktur patologis adalah fraktur yang terjadi pada daerha pada daerah tulang yang berpenyakit karena terjadinya penurunan densitas tulang seperti kista tulabg, penyakit piaget, metastasis tulang, tumor.

F.     MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hiangnya fungsi, deformitas, pemendekan ektremitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan warna (Smeltzer, 2002). Gejala umum fraktur menurut Reeves (2001) adalah rasa sakit, pembengkakan, dan kelainan bentuk.
Table 3.3 Perkiraan waktu Imobilisasi yang Dibutuhkan untuk penyatuan
Fraktur
Lamanya (minggu)
Falang (jari)
3 – 5
Metakarpal
6
Karpal
6
Skafoid
10 (atau sampai terlihat penyatuan pada Sinar-X)
Radisu dan ulna
10 – 12
Humerus:

Suprakondiler
3
Batang
8 – 12 
Proksimal (impaksi)
3
Proksimal (dengan pergeseran)
6 – 8
Klavikula
6 – 10
Vertebra
16
Pelvis
6
Femur:

Intrakapsuler
24
Intratrokhanterik
10 -12
Batang
18
Suprakondiler
12 – 15
Tibia:

Proksimal
8 – 10
Batang
14 – 20
Maleolus
6
Kalkaneus
12 – 16
Metatarsal
6
Falang (jari kaki)
3
Sumber: Smeltzer S.C., dan Bare B.G., 2002.

G.    PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Kedaruratan
Bila dicurigai adanya fraktur, penting untuk melakukan imobilisasi bagian tubuh segera sebelum klien dipindahkan. Bila klien mengalami cedera, sebelum dapat diakukan pembidaian, ektremitas harus disangga di atas samping di bawah tempat pertahanan untuk mencegah gerakan rotasi maupun angulasi. Pembidaian sangat penting untuk mencegah kerusakan jaringan lunak oleh fragmen tulang.
Gerakan fragmen patahan tulang dapat menyebabkan timbulnya rasa nyeri, kerusakan jaringan lunak, dan perdarahan lebih lanjut. Nyeri yang terjadi karena fraktur yang sangat berat dapat dikurangi dengan menghindari fragmen tulang. Daerah yang vedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara dengan bantalan yang memadai, dan kemudian dibebat dengan kencang namun tetap harus memperhatikan nadi perifer. Imobilisasi tulang panjang ektremitas bawah dapat juga dilakukan dengan membebat ke dua tungkai bersama, denagn ektremitas yang sehat bertindak sebagai bidai bagi ektremitas yang cedera.
Luka ditutup dengan pembalutan steril (bersih) untuk mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam pada luka terbuka. Jangan sekali-kali melakukan reduksi fraktur, bahkan bila ada fragmen tulang yang keluar melalui luka/menembus kulit. Evaluasi klien dengan lengkap. Pakaian dilepas dengan lembut, diawali dari bagian tubuh yang sehat dan dilanjutkan pada Ektremitas sebisa mungkin jangan sampai digerakkan untuk mencegah kerusakan jaringan lunak lebiih lanjut.
Pertolongan pertama pada penderita patah tulang di luar rumah sakit adalah sebagai berikut:
a.       Jalan napas
Bila penderita tak sadar, jalan napas dapat tersumbat karena lidahnya sendiri yang jatuh ke dalam faring, sehingga menutup jalan napas atau adanya sumbatan oleh lender, darah, muntahan atau benda asing. Untuk mengatasi keadaan ini, penderita dimiringkan sampai tengkurap. Rahang dan lidah ditarik ke depan dan bersihkan faring dengan jari-jari.
b.      Perdarhan pada luka
Cara yang paling efektif dan paling aman adalah dengan meletakkan kainyang bersih (kalau bias steril) yang cukup tebal dan dilakukan penekanan dengan tangan atau dibalut dengan verban yang cukup menekan. Torniket sendiri mempunyai kelemahan dan bahaya. Kalau dipasang terlalu kendur menyebabkan perdarahan vena berlebihan. Kalau dipasang terlalu kuat dan terlalu lama dapat menyebabkan kerusakan saraf dan pembuluh darah. Dalam melakukan penekanan atau pembebatan pada daerah yang mengalami perdarahan, harus diperhatkan denyut nadi perifer, serta pengisian kapiler untuk mencegah kematian jaringan.
c.       Syok.
Pada suatu kecelakaan kebanyakan syok yang terjadi adalah syok hemoregik. Syok bias terjadi bila orang kehilangan darahnya ± 30% dari volume darahnya. Pada fraktur femur tertutup orang dapat kehilangan darahnya 1000 – 1500 cc.
Empat tanda syok yang dapat terjadi setelah trauma adalah sebagai berikut.
1.      Denyut nadi lebih dari 100 x/menit.
2.      Tekanan sistolik kurang dari 100 mmHg
3.      Wajah dan kuku menajdi pucat atai sianotik
4.      Kulit tangan adna kaki dingin.
Gejala-gejala lain dapat berupa sakit (bukan gejala yang dominan), otot-otot menjadi lunak, timbul rasa haus, pernapasan menjadi cepat dan dalam, serta kesadaran normal, apatis atau koma.
Paling baik untuk mengatasi syok karena perdarahan adalah diberikan darah, (transfuse darah), sedangkan cairan lainnya seperti plasma, dextra, dan lain-lain kurang tepat karena tidak dapat menunjukkan perbaikan karena tidak ada sel darah yang sanagt diperlukan untuk transportasi oksigen.
d.      Fraktur dan dislokasi
Fraktur dan dislokasi dari anggota gerak harus dilakukan imobilisasi sebelum pendedrita dibawa ke rumah sakit. Guna bidai selain untuk imobilisasi atau mengurangi sakit, juga untuk mencegah kerusakan jaringan lunak yang lebih parah. Pada fraktur/dislokasi servikal dapat dipergunakan gulungan kain tebal atau bantalan pasir yang diletakkan di sebelah kanan dan kiri kepala. Pada tulang belakang cukup diletakkan di alas keras. Fraktur/dislokasi di daerah bahu atau lengan atas cukup diberikan sling (mitella). Untuk lengan bawah dapat dipakai papan dan bantalan kapas. Fraktur femur atau dislokasi sendi panggul dapat dipakai Thomas splint atau papan panjang dipasang yang dari aksila sampai pedis dan difiksasi dengan tungkai sebelah yang normal. Fraktur tungkai bawah dan lutut dapat dipakai papan ditambah bantalan kapas dari pangkal paha sampai pedis. Untuk trauma di daerah pedis dapat dipakai bantalan pedis.
Penatalaksanaan Fraktur Terbuka
Patah tulang terbuka memerlukan pertolongan segera. Penundaan waktu dalam memberikan pertolongan akan mengakibatkan komplikasi infeksi karena adanya pemaparan dari lingkungan luar. Waktu yang optimal untuk melaksanakan tindakan sebelum 6 – 7  jam kecelakaan, disebut golden Period.
Secara klinis patah tulang terbuka dibagi menjadi tida derajat (Pusponegoro A.D., 2007), yaitu:
Derajat I          : terdapat luka tembus kecil seujung jari, luka ini di dapat dari tusukan fragmen-      fragmen tulang dari dalam.
Derajat II        : luka lebih besar disertai dengan kerusakan kulit subkutis. Kadang-kadang ditemukan adanya benda-benda asing di sekitar luka.
Derajat III       : luka lebih besar dibandingkan dengan luka pada derajat II. Kerusakan lebih hebat karena sampai mengenai tendon dan otot-otot saraf tepi.
Pada luka derajat I biasanya tidak mengalami kerusakan kulit, sehingga penutupan kulit dapat ditutup secara primer. Namun pada derajat II, luka lebih besar dan bila dipaksakan menutup luka secara primer akan terjadi tegangan kulit. Hal ini akan mengganggu sirkulasi bgian distal. Sebaiknya luka dibiarkan terbuka dan luka ditutup setelah 5- 6 hari (delayed primary suture).untuk fisasi tulang pada derajat II dan III paling baik menggunakan fisasi eksterna. Fiksasi ekstrena yang sering dipakai adalah Judet, Roger Anderson, dan Methyl Methacrylate. Pamakaian gips masih dapat diterima, bila peralatan tidak ada. Namun, kelemahan pemakaian gips adalah perawatan yang lebih sulit.
Salah satu tindakan untuk fraktur terbuka yaitu dilakukan debdridement. Debdridemen bertujuan untuk membuat keadaan luka yang kotor menajdi bersih, sehingga secara teoritis fraktur tersebut dapat dianggap fraktur tertutup. Namun secara praktis, hal tersebut tidak pernah tercapai. Tindakan debdridemen dilakukan dalam anestesi umum dan selalu harus disertai dengan pencucian luka dengan air yang steril/NaCl yang mengalir.
Pencucian ini memegang peranan penting untuk membersih kotoran-kotoran yang menempel pada tulang.
Pada fraktur terbuka tidak boleh dipasang torniket, hal ini penting untuk menentukan batas jaringan yang vital dan nekrotik. Daerah luka dicukur rambutnya, dicuci dengan detergen yang lunak (missal physohex), sabun biasa dengan sikat lamanya kira-kira 10 menit, dan dicuci dengan air mengalir: dengan siraman air mengalir diharapkan kotoran-kotoran dapat terangkat mengikuti aliran air.
Tindakan pembedahan berupa eksisi pinggir luka, kulit, subkutis, fasia, dan otot-otot nekrosis yang kotor. Fragemen tulang yang kecil dan tidak memengaruhi stabilitas tulang dibuang. Fragmen yang cukup beasar tetap dipertahankan.

H.    PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1.      Pemeriksaan Rontgen: menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma, dan jenis fraktur.
2.      Scan tulang, tomogram, CT Scan/MRI: memperlihatkan tingkat keparahan fraktur, juga dapat untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3.      Arteriogram: dilakuakan bila dicurigai adanya kerusakan vascular.
4.      Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada multiple trauma). Peningkatan jumlah SDP adalah proses stress normal setelah trauma.
5.      Kreatinin: trauma otot meningkat beban kreatinin untuk klirens ginjal.
6.      Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi multiple atau cedera hati.




ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN FRAKTUR
A.    Pengkajian
*      Aktivitas/Istirahat
Tanda       : keterbarasan gerak/kehilangan fungsi motorik pada bagian yang terkena   (dapat segera atau sekunder, akibat pembengkakan/nyeri).
                 Adanya kesulitan dalam istirahat-tidur akibat dari nyeri.
*      Sirkulasi
Tanda       : hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri/ansietas) atau hipotensi (hipovolemia).
                 Takikardi (respon stress, hipovolemia).
                 Penurunan atau tak teraba nadi distal, pengisian kapiler lambat (capillary refill), kulit dan kuku pucar/sianotik.
                 Pembengkakan jaringan atau massa hematoma pada sisi cedera.
*      Neurosensori
Gejala      : hilang gerak/sensasi, atau spasme otot
                 Kebas/kesemutan (parestesi)
Tanda       : deformitas local, angolasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi, spasme otot, kelemahan/hilang fungsi.
                 Angitasi berhubungan dengan nyeri, ansietas, trauma lain.
*      Nyeri/kenyamanan
Gejala      : nyeri berat tiba-tiba saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area jaringan/kerusakan tulang, dapat berkurang pada imobilisasi), tak ada nyeri akibat kerusakan saraf.
                 Spasme/kram otot (setelah imobilisasi).
*      Keamanan
Tanda       : laserasi kulit, avulasi jaringan, perdarahan, dan perubahan warna kulit.
                   Pembengkakan local (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba).



DIAGNOSA DAN RENCANA KEPERAWATAN
1.      Risiko tinggi trauma tambahan berhubungan dengan kerusakan neurovascular, tekanan dan disuse.
Tindakan
Rasional
Mandiri
1.      Pertahankan tirah baring sesuai indikasi. Berikan sokongan sendi di atas dan di bawah fraktur bia bergerak/membalik.

1.      Meningkatkan stabilitas, menurunkan kemungkinan gangguan posisi/penyembuhan.
2.      Letakkan papan di bawah tempat tidur atau tempatkan klien pada tempat tidur ortopedik.
3.      Tempat tidur lembut atau lentur dapat membuat deformasi gips yang masih basah, mematahkan gips yang sudah kering atau memengaruhi dengan penarikan traksi.
Gips/Bebat
3.      Sokong fraktur dengan bantal/gulungan selimut. Pertahankan posisi netral pada bagian yang sakit dengan bantal pasir, pembebat, gulungan trokanter atau papan kaki.
3.      Mencegah gerakan yang tak perlu dan perubaha posisi. Posisi yang tepat dar bantal juga dapat mencegah tekanan deformitas pada gips yang kering.
4.      Tugaskan petugas yang cukup untuk membalik klien. Hindari menggunakan papan abduksi untuk membalik klien dengan gips spika.
4.      Gips panggul/tubuh multiple dapat membuat berat dan tidak praktis secara ekstrem. Kegagalan untuk menyokong ekstremitas yang di gips dapat menyebabkan gips patah.
5.      Evaluasi pembebat ekstremitas terhadap resolusi edema
5.      Pembebat koaptasi (misalnya jepitan Jones-Sugar) mungkin digunakan untuk memberikan imobilisasi fraktur di mana edema jaringan berlebihan. Seiring dengan berkurangnya edema, penilaian kembali pembebat atau penggunaan gips plester mungkin diperlukan untuk mempertahankan kesejajaran fraktur.
Traksi
6.      Pertahankan posisi/integritas traksi (missal, Buck, Dunlop, Pearson, Russel).

6.      Traksi memungkinkan tarikan pasa aksis panjang fraktur tulang dan mengatasi tegangan otot/pemendekan untuk memudahkan posisi/penyatuan. Traksi tulang (pen, kawat, jepitan) memungkinkan penggunaan berat lebih besar untuk penarikan traksi daripada digunakan untuk jaringan kulit.
7.      Yakinkan semua klem berfungsi. Member minyak pada katrol dan periksa tali terhadap tegangan. Amankan dan tutup ikatan dengan plester pereka.
7.      Meyakinkan bahwa susunan traksi berfungsi dengan tepat untuk menghidari interupsi penyambungan fraktur.
8.      Pertahankan katrol tidak terhambat dengan beban bebas menggantung, hindari mengangkt/menghilangkan berat.
8.      Jumlah beban traksi optimal dipertahankan
9.      Bantu meletakkan beban di bawah roda tempat tidur bila ada indikasi
9.      Membantu ketepatan posisi klien dan fungsi traksi dengan memberikan keseimbangan timbal balik.
10.  Kaji ulang tahanan yang mungkin timbul karena terapi, contoh pergelangan tidak menekuk
10.  Mempertahankan integritas tarikan traksi
11.  Kaji integritas alat fiksasi eksterna
11.  Traksi Hoffman memberikan stabilisasi dan sokongan kaku untuk tulang fraktur tanpa menggunakan katrol, tali atau beban, memungkinkan mobilitas/kenyamanan klien lebih besar dan memudahkan perawatan luka.
Kolaborasi
12.  Kaji ulang/evaluasi foto
12.  Memberikan bukti visual mulainya pembentukan kalus/proses penyembuhan untuk menentukan tingkat aktivitas dan kebutuhan perubahan/tambahan terapi.
13.  Berikan/pertahanan stimulasi listrik bila digunakan.
13.  Mungkin diindikasikan untuk meningatkan pertumbuhan tulang pada keterlambatan penyembuhan/tidak menyatu.

2.      Nyeri berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, cedera pada jaringan lunak, stress, ansietas, alat traksi atau imobilisasi.
Tindakan
Rasional
Mandiri
1.      Pertahankan imobilisasi bagian yag sakit denga tirah baring, gips, pembebat.

1.      Mengurangi nyeri dan mencegah kesalahan posisi tulang/tegangan jaringan yang cedera.
2.      Tinggikan ekstremitas yang sakit
2.      Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi edema, dan mengurangi nyeri
3.      Hindari penggunaan sprei/bantal plastic di bawah ekstremitas dalam gips.
3.      Meningkatkan kenyamanan karena peningkatan produksi panas dalam gips yang kering.
4.      Tinggikan penutup tempat tidur, pertahankan linen terbuka pada ibu jari kaki.
4.      Mempertahankan kehangatan tubuh tanpa ketidaknyamanan karena tekanan selimut pada bagian yang sakit.
5.      Evaluasi nyeri; loaksi, karakteristik, intensitas (skala 0-10). Perhatikan petunjuk nyeri nonverbal (perubahan tanda vital dan emosi/prilaku)
5.      Memengaruhi efektifitas intervensi. Tingkat ansietas dapat memengaruhi persepsi/reaksi terhadap nyeri.
6.      Dorong klien untuk mengekresikan masalah berhubungan dengan cedera
6.      Membantu mengatasi ansietas. Klien dapat merasakan kebutuhan untuk menghilangkan pengalaman kecelakaan.
7.      Jelaskan prosedur sebelum memulai tindakan
7.      Memungkinkan klien untuk siap secara mental dalam melakukan aktivitas, dan berpatisipasi dalam mengontrol tingkat ketidaknyamanan.
8.      Berikan obat sebelum perawatan latihan/aktivitas
8.      Meningkatkan relaksasi otot dan partisipasi klien.
9.      Lakukan dan awasi latihan rentang gerak pasif/aktif.
9.      Mempertahankan kekuatan/mobilitas otot yang sakit dan memudahkan resolusi inflamasi pada jaringan yang cedera.
10.  Berikan alternative tindakan kenyamanan, seperti pijatan punggung, perubahan posisi.
10.  Meningkatkan sirkulasi umum, menurunkan area tekanan local dan kelelahan otot.
11.  Dorong penggunaan manajemen stress, seperti relaksasi progresif, latihan napas dalam, imajinasi visualisasi, sentuhan terapeutik.
11.  Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa control, dan dapat meningkatkan kemampuan koping dalam manajemen nyeri, yang mungkin menetap untuk peride yang lama.
12.  Identifikasi aktivitas terapeutik yang tepat unutk usia klien, kemampuan fisik, dan penampilan pribadi.
12.  Mencegah kebosanan, menurunkan tegangan, meningkatkan kekuatan otot, dan dapat meningkatkan harga diri dan kemampuan koping klien.
13.  Observasi adanya keluhan nyeri yang tidak biasa, tiba-tiba atau dalam, lokasi progresif atau buruk tidak hilang dengan analgesic.
13.  Dapat mengindikasikan terjadinya komplikasi, seperti infeksi, iskemia jaringan, sindrom kompartemen.
Kolaborasi
14.  Lakukan kompres dingin 24 – 48 jam pertama sesuai kebutuhan

14.  Menurunkan edema atau pembentukan hematon, menurunkan sensasi nyeri.
15.  Berikan obat sesuai order: narkotik dan analgesic non-narkotik, NSAID. Berikan narkotik sesuai order selama 3 – 5 hari.
15.  Untuk menurunkan nyeri dan atau spasme otot.
16.  Berikan/awasi analgesic yang dikontrol klien
16.  Pemberian rutin mempertahankan kadar analgesic darah secara adekuat, mencegah fluktuasi dalam menghilangkan nyeri akibat spasme/tegangan otot.

3.      Kurang keperawatan diri berhubungan dengan hilangnya kemampuan menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Tindakan
Rasional
Mandiri
1.      Dorong klien mengekspresikan perasaan dan mendiskusikan cederadan masalah yang berhubungan dengan cedera.
Dengarkan secara aktif.

1.      Fraktur memengaruhi kemampuan seseorang melakukan aktivitas sehari-hari seperti kehilangan pekerjaan, perubahan gaya hidup.
2.      Motivasi penggunaan mekanisme maslah secara adaftid.
2.      Penghentian mendadak rutinitas dan rencana memerlukan mekanisme penyelesaian masalah.
3.      Libatkan orang yang berarti dan layanan dukungan bila diperlukan
3.      Orang lain dapat membantu klien melakukan aktifitas sehari-hari.
4.      Modifikasi lingkungan rumah bila diperlukan.
4.      Akomodasi untuk penatalaksanaan di rumah mungkin diperlukan untuk meningkatkan perawatan diri dan keamanan.
5.      Dorong klien berpatisipasi dalam pengembangan program terapi.
5.      Klien mampu memperoleh kembali kemandirian dengan partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan rencana terapi.
6.      Jelaskan berbagai program terapi
6.      Pendidikan dan pemahaman klien dapat meningkatkan kepatuhan.
7.      Dorong partisipasi aktivitas sehari-hari dalam batasan terapeutik.
7.      Rasa harga diri dapat ditingkatkan dengan aktivitas perawtan diri.
8.      Ajarkan pengguna modalitas terapi dan bantuan mebilisasi secara aman. Lakukan supervise agar pemakaian terjamin.
8.      Cedera akibat penggunaan modalitas atau alat bantu mobilisasi dapat dicegah melalui pendidikan.
9.      Evaluasi kemampuan klien untuk melakukan perawatan diri dirumah; merencanakan regimen terapi; nmengenali risiko masalah; mengenali situasi yang tidak aman, dan meneruskan supervise kesehatan.
9.      Meyakinkan kemampuan klien untuk menangani fraktur di rumah. Kekurangan pengetahuan dan persiapan perawatan diri yang buruk di rumah menyumbang terjadinya ansietas dan ketidaksiplinan terhadap program terapi.

4.      Risiko tinggi terhadap infeksi
Tindakan
Rasional
1.      Inspeksi kulit dari adanya iritasi atau robekan kontinuitas
1.      Pin kawat tidak harus dimasukkan melalui kulit yang terinfeksi, kemerahan atau abrasi dan dapat menimbulkan infeksi.
2.      Kaji sisi “pin”/kawat, perhatikan  keluhan peningkatan nyeri/rasa terbakar atatu adanya edema, eritema, drainase/bau tak enak.
2.      Dapat mengindikasikan timbulnya infeksi local/nekrosis jaringan, yang dapat menimbulkan osteomielitis.
3.      Lakukan perawtan pin atau kawat steril sesuai protocol dan mencuci tanagn
3.      Mencegah kontaminasi kesempatan untuk kontaminasi
4.      Instruksikan klien untuk tidak menyentuh sisi insersi.
4.      Meminimalkan kesempatan untuk pertumbuhan bakteri.
5.      Tutupi pada akhir gips partineal dengan palstik.
5.      Gips yang lembab, padat meningkatkan pertumbuhan bakteri.
6.      Observasi luka dari pembentukan bula, krepitasi, perubahan warna kulit kecoklatan, bau drainase tidak enak.
6.      Tanda perkiraan infeksi gas gangrene.
7.      Kaji tonus otot, reflex tendon dalam dan kemampuan berbicara.
7.      Kekuatan otot, spasme tonus otot rahang, dan disfagia menunjukkan terjadinya tetanus.
8.      Selidiki adanya nyeri tiba-tiba/keterbatasan gerak dengan edema local/eritema ekstremitas cedera
8.      Mengindikasikan terjadinya osteomielitis.
9.      Lakukan prosedur isolasi
9.      Adanya drainase purulen akan memerlukan kewaspadaan luka/linen untuk mencegah kontaminasi silang.
Kolaborasi
10.  Awasi pemeriksaan laboratorium seperti:
·         Hitung darah lengkap


·          LED
·         Kultur dan sensitivitas luka/serum/tulang.
·         Scan radioisotop
10.  Memantau hasil pemeriksaan laboratorium
·         Anemia dapat terjadi pada osteomielitis, leukositosis biasanya ada proses infeksi.
·         Meningkat pada osteomielitis
·         Mengidentifikasi orgasme penyebab infeksi.
·         Titik panas menunjukkan peningkatan area vaskularitas, indikasi osteomielitis.
11.  Berikan obat sesuai order:
·         Antibiotic IV/topical



·         Tetanus toksoid
11.  Obat sesuai order:
·         Antibiotic spectrum luas dapat digunakan secara profilaksis atau ditunjukan pada mikroorganisme khusus
·         Prifilaksis karena kemungkinan adanya tetanus pada luka terbuak
12.  Irigasi luka/tulang dan berikan sabun bsah/hangat sesuai indikasi
12.  Dedridemen local/pembersihan luka mengurangi mikroorganisme dan insiden infeksisistemik.
13.  Siapkan pemebedahan sesuai prosedur
13.  Sequestrektomi (pengangkatan tulang nekrotik) diperlukan untuk membantu penyembuhan dan mencegah perluasan proses infeksi.

A.    PENDAHULUAN
Footner (1992), mengemukakan enam puluh persen amputasi dilakukan kepada klien dengan usia di atas 60 tahun, dan umunya akibat iskemia (kematian jaringan). Amputasi digunakan untuk menghilangkan gejala, memperbaiki fungsi, dan menyelamatkan atau memperbaiki kualitas hidup klien.

B.     PENGERTIAN
Amputasi adalah pengangkatan/pemotongan sebagian anggota tubuh/anggota gerak yang disebabkan oleh adanya trauma, gangguan peredaran darah, osteomielitis, kanker (PSIK FKUI, 1996). Amputasi adalah pengangkatan melalui bedah/traumatic pada tungkai (Doenges, 2000). Dalam kamus kedokteran Dorland, amputation memotong atau mengangkas, pembuangan suatu anggota badan atau suatu penumbuhan dari badan.
Dengan melihat beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa amputasi adalah pengangkatan/pemotongan/pembuangan sebagai anggota tubuh/anggota gerak yang disebabkan oleh adanya trauma, gangguan peredaran darah, osteomielitas, dan kanker melalui proses pembedahan.

C.     ETIOLOGI
Penyakit vascular perifer progresif (sering terjadi sebagai gejala sisa diabetes mellitus), gangrene, trauma, (cedera remuk, luka, bakar), deformitas congenital, atau tumr ganas. Penyakit vaskuler prefer merupakan penyebab tertinggi amputasi eksteremitas bawah (smeltzer 2002). Foother (1992) mengemukakan alasan diperlukannya amputasi terjadi pada penyakit vascular perifer, trauma, neoplasma malignan (misalnya steosarkoma), infeksi (misalnya infeksi akut: gangguan ,infeksi kronik; osteomilitis), deformitas, dan paralisis. Secara umum penyebab amputasi menurut doenges (2000) adalah kecelakaan, penyakit, dan gangguan congenital.
Berdasarkan pendapat diatas, dapat di simpulkan penyebab amputasi adalah penyaki vascular perifer, infeksi, trauma, deformitas, tumor ganas, dan paralisis.




D.    PAKTOR YANG MEMPEGARUHI
Klien yang memerlukan amputasi usia muda dan lansia. Amputasi yang terjadi pada muda biasanya akibat terauma eksteremitas berat, sedangkan pada lansia biasanya karena penyakit vascular perifer. Usia muda dapat melalui prose penyembuhan dengan cepat, dan segera berpartisipasi dalam program rehabilitasi, namun, klien memerlukan banyak dukungan pisikologis untuk menerima perubahan mendadak terkait citra diri klien dan menerima stress akibat hospitalasi, rehabilitas jangka panjang, dan penyesuaian jangka panjang, dan penyesuaian gaya hidup yang berubah, klien juga memerlukan waktu untuk mengatasi perasaan yang permanen. Reaksi klien susah diduga dan dapat berupa reaksi marah, depresi, berduka disfungsional, isolasi social dan bermusuhan.
Pada lansia dengan penyakit vascular perifer sering diiringi dengan masalah kesehatan lain, seperti diabetes militus dan arteriosklarosis. Amputasi yang sudah lama dapat menghilangkan klien dari nyeri, disebilitas, dan ketergantungan. Dan berbeda dengan orang muda, lansia sudah siap mengatasi perasaannya dan siap menerimaa ampitasi. Rehabilitas psikologik dan fisiologik dimulai sebelum amputasi dilaksanakan. Namun, kemajuan rehabilitas mugkin terhambat akibat kelainan kardiovaskuler, respirasi atau neurologik yang diderita oleh lansia.

E.     TINGKAT DAN BATAS AMPUTASI
Batas amputasi ditentukan oleh luas dan jenis penyakit. Batas amputasi pada cedera ditentukan oleh peredaran darah yang adekuat, batas amputasi pada tumor malingna ditentukan oleh daerah bebas tumor dan bebas resiko kekambuhan lokal. Sedangkan pada penyakit pembuluh darah ditentukan oleh vaskularisasi sisa ekstremitas dan daya sembuh luka sisa tungkai (puntung). (sjamsuhidajat, 2005).

F.      KOMPLIKASI
Pendarahan, infeksi, dan kerusakan kulit merupakan komplikasi amputasi. Pendarahan terjadi akibat pemotongan pembuluh darah besar dan dapat menjadi masif. Infeksi dapat terjadi pada semua pembedahan, dengan peredaran darah yaqng buruk atau adanya kontaminasi serta dapat terjadi kerusakan kulit akibat penyembuhan luka yang buruk dan iritasi penggunan prosthesis. Menurut pusdiknakes (1995), komplikasi yang dapat terjadi pada amputasi adalah infeksi, nyeri phantom(phantom limp-pain), neuroma, dan fleksi kontraktor.
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa komplikasi yang dapat terjadi pada amputasi adalah perdarahan, infeksi, nyeri phantom, neuroma, kerusakan kulit, dan fleksi kontraktor.

G.    PENATALAKSANAAN
Tujuan utama pembedahan adalah mencapai penyembuhan amputasi, menghasikan sisa tungkai (puntung) yang tidak nyeri tekan dengan kulit yang untuk penggunaan prosthesis. Lansia mungkin mengalami keterlambatan penyembuhan, dan nutrisi yang buruk dan masalah kesehatan lain. Percepatan penyembuhan dapat dilakukan dengan penanganan yang lembut terhadap sisa tungkai, pengontrolan tungkai, pengontrolan tungkai dengan balutan kompres lunak atau rigid, dan menggunakan teknik aseptic dalam keperawatan lika dalam menghidari infeksi.

1.      Balutan Rigid Tertutup
Digunakan untuk mendapatkan kompresi yang merata, menyangga jaringan lunak dan mengontrol nyeri, serta mencegah kontraktur. Segera setelah pembedahan balutan gips rigid dipasang dan dilengkapi tempat memasang ekstensi prosthesis sementara (pylon) dan kaki buatan. Pasang kaos kaki steril pada sisi steril, dan bantalan dipasang pada daerah peka tekanan. Sisa tungkai (punting) kemudian dibalit dengan gips elastis yang ketika mengeras akan memberikan tekanan yang merata. Gips diganti sekitar 10 – 14 hari. Bila terjadi peningkatan suhu tubuh, nyeri berat atau gips mulai melonggar harus segera diganti.

2.      Balutan Lunak
Balutan lunak dengan atau kompres dapat digunakan bila diperlukan inspeksi berkala sisa tungkai (putung) sesuai kebutuhan. Bidai imobilisasi dapat dibalutkan pada balutan. Hematoma putung dikontrol dengan alat drainase luka untuk meminimalkan infeksi.

3.      Amputasi Bertahap
Amputasi bertahap dilakukan bila ada gangren atau infeksi. Pertama-tama dilakukan amputasi guillotine untuk mengangkat semua jaringan nekrosis dan sepsis. Luka didebridemen dan dibiarkan mongering. Sepsis ditangani dengan antibiotik. Dalam beberapa hari, bila infeksi telah terkontrol dan klien telah stabil, dilakukan amputasi definitif dengan penutupan kulit.
4.      Prostesis
Prostesis sementara kadang diberikan pada hari pertama pascabedah, sehingga latihan segera dapat dimulai. Keuntungan menggunakan prostesis sementara adalah membiasakan klien menggunakan prostesis sedini mungkin. Kadang prostesis darurat baru diberikan setelah satu minggu luka menyembuh tanpa penyulit. Pada amputasi karena penyakit pembuluh darah, prostesis sementara diberikan  setelah empat minggu.
Prostesis bertujuan untuk menggantikan bagian ekstremitas yang hilang. Artinya defek system musculoskeletal harus diatasi, termasuk defek faal. Pada ekstremitas bawah, tujuan prostesis ini sebagian besar dapat dicapai. Sebaliknya untuk ekstremitas atas, tujuan itu sulit dicapai, bahkan dengan tangan mioelektrik canggih yang bekerja atas sinyal mioelektrik dari otot sisep dan trisep.




















ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN AMPUTASI

PENGKAJIAN
*      Aktivitas/Istirahat
Gejala        : keterbatasan/antisipasi yang dimungkinkan oleh kondisi/amputasi
*      Integritas Ego
Gejala        : masalah tentang antisipasi perubahan pola hidup, situasi finansial, reaksi orang lain,   perasaan putus asa, tidak berdaya.
Tanda        : ansietas, ketakutan, sensitive, marah, menarik diri, kecerian semu.
*      Seksualitas
Gejala        : masalah tentang keintiman hubungan dengan pasangan.


*      Interaksi Sosial
Gejala        : masalah sehubungan dengan penyakit.
                  Masalah tentang peran-fungsi, reaksi orang lain, gangguan konsep diri.

PEMERISAAN DIAGNOSTIK
1.      Foto Rontgen : mengidentifikasi abnormalitas tulang.
2.      CT Scan: mengidentifikasi lesi neoplastik, osteomielitis, pembentukan hematoma
3.      Angiografi dan pemeriksaan aliran: mengevaluasi perubahan sirkulasi/perfusi jaringan dan membantu memperkirakan potensi penyembuhan jaringan setelah amputasi.
4.      Ultrasound Doppler, Flowmetri Doppler: dilakukan untuk mengkaji dan mengukur aliran darah.
5.      Tekanan O2 transkutaneus: member peta pada area perfusi paling besar dan paling kecil dalam keterlibatan ekstremitas.
6.      Termografi: mengukur perbedaan suhu pada tungkai iskemik di dua sisi, dari jaringan kutaneus ke tengah tulang. Perbedaan yang rendah anatara dua pembecaan, makin besar untuk sembuh.
7.      Plestismografi: mengukur TD segmental bawah terhadap ekstremitas bawah mengevaluasi aliran darah arteri.
8.      LED: peningkatan mengidentifikasi respons inflamasi.
9.      Kultur luka: mengidentifikasi adanya infeksi dan organism penyebab.
10.  Biopis: mengonfirmasi diagnosis massa begnigna/meligna.
11.  Hitung darah lengkap/diferensial: peninggian dan pergeseran ke kiri diduga proses infeksi.

DIAGNOSA DAN PERENCANAAN KEPERAWTAN
1.      Nyeri (akut) berhbungan dengan cedera fisik/jaringan dan trauma saraf.
Tindakan
Rasional
Mandiri
1.      Catat lokasi, frekuensi dan intensitas nyeri (skala 0 – 10). Amati perubahan karakteristik nyeri, missal kebas, kesemutan.

1.      Membantu dalam evaluasi kebutuhan dan keefektifan intervensi. Perubahan dapat mengindikasikan terjadinya komplikasi, misal nekrosis/infeksi.
2.      Tinggikan bagian yang sakit dengan meninggikan tempat tidur atau menggunakan bantal/guling sebagai penyangga.
2.      Mengurangi terbentuknya edema dengan peningkatan aliran balik vena, mengurangi kelelahan otot dan terkena pada kulit/jaringan.
3.      Tingkatkan kenyamanan klien (missal rubah posisi sesering mungkin, pijatan punggung). Dorong penggunaan teknik manajemen stress, (misal napas dalam, visualisasi)
3.      Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi, meningkatkan kemampuan koping, dan dapat menurunkan terjadinya nyeri.
4.      Berikan pijatan lembut pada sisa tungkai (putung) sesuai toleransi bila balutan telah dilepas.
4.      Meningkatkan sirkulasi, mengurangi ketegangan otot.
5.      Amati keluhan nyeri yang tidak hilang dengan analgesic.
5.      Dapat mengindikasikan sindrom kompartemen, khusus cedera traumatic.
Kolabirasi
6.      Berikan obat sesuai indikasi, misal analgesic, relaksasi otot
6.      Mengurangi nyeri/spasme otot.
7.      Berikan pemanasan lokasi sesuai indikasi.
7.      Mungkin diperlukan unutk meningkatkan relaksasi otot, sirkulasi dan membantu perbaikan edema.

2.      Gangguan harga diri/citra diri, penampilan peran berhubungan dengan kehilangan bagian tubuh.
Tindakan
Rasional
Mandiri
1.      Kaji/pertimbangkan persiapan klien dan pandangannya terhadap amputasi
1.      Klien yang memandang amputasi sebagai rekontraksi hidup akan menerima diri yang baru dengan cepat. Klien dengan amputasi traumatic mempertimbangkan amputasi sebagai kegagalan dan berada pada risiko tinggi gangguan konsep diri
2.      Dorong klien mengekspresikan ketakutan, perasaan negatif, dan kehilangan bagian tubuh.
2.      Ekspresikan perasaan membantu klien memulai menerima kenyataan dan realitas hidup tanpa tungkai.
3.      Beri penguatan informasi pascaoperasi termasuk tipe/lokasi amputasi, tipe protese, harapan setelah operasi, tindakan setelah operasi termasuk control nyeri dan rehabilitasi.
3.      Memberikan kesempatan untuk menanyakan dan mengasimilasi informasi dan mulai menerima perubahan gambaran diri dan fungsi, yang dapat membantu penyembuhan..
4.      Kaji system pendukung (support system) dukungan orang lain yang ada untuk klien.
4.      Dukungan yang cukup dari orang yang terdekat dan teman dapat membangtu proses rehabilitasi.
5.      Diskusikan persepsi klien tentang diri dan hubungan dengan perubahan dan bagaimana klien melihat dirinya dalam pola/peran fungsi yang biasanya.
5.      Membantu mengartikan masalah sehubungan dengan pola hidup sebelumnya dan membantu pemecahan masalah. Sebagai contoh takut kehilangan kemandirian, kemampuan bekerja, dan sebagainya.
6.      Dorong partisipasi klien dalam aktivitas sehari-hari. Berikan kesempatan untuk memandang/merawat sisa tungkai (punting), dan menunjukkan tanda positif penyembuhan.
6.      Meningkatkan  kemandirian dan perasaan harga diri. Meskipun penyatuan sisa tungkai dalam gambaran diri dapat memerlukan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Melihat sisa tungkai dan mendengar pernyataan positif dapat membantu klien dalam menerima.
7.      Dorong/berikan kunjungan oleh orang yang diamputasi, khususnya orang yang telah berhasil dalam rehabilitasi.
7.      Teman senasib yang telah mengalami hal yang sama bertindak sebagai model peran dan dapat memberikan keabsahan pernyataan, juga harapan untuk pemulihan dan masa depan normal.
8.      Berikan lingkungan yan terbuka pada klien untuk mendiskusikan masalah tentang seksualitas.
8.      Meningkatkan pernyataan keyakinan/nilai tentang subjek positif dan mengidentifikasi kesalahan konsep/mitos yang dapat memengaruhi penilaian situasi.
9.      Perhatikan perilaku menarik diri, membicarakan hal negative dari diri, menyangkal atau terus menerus melihat perubahan nyata (amputasi).
9.      Mengidentifikasi tahap berduka/kebutuhan untuk intervensi.
10.  Diskusikan tersedianya berbagai sumber, misal konseling psikiatrik/seksual, terapi kejujuran.
10.  Membantu adaptasi lanjut yang optimal dan rehabilitasi.








3.      Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan primer (kulit robek, jaringan traumatic).
Tindakan
Rasional
Mandiri
1.      Pertahankan teknik antiseptic bila mengganti balutan/merawat luka.
1.      Meminimalkan kesempatan introduksi bakteri.
2.      Inspeksi balutan dan luka, perhatikan karakteristik drainase.
2.      Deteksi dini terjadinya infeksi memberikan kesempatan unutk intervensi tepat waktu dan mencegah komplikasi lebih serius (misal osteomielitis).
3.      Pertahankan patensi dan pengosongan alat drainase secara rutin.
3.      Hemovac, drain Jackson-Pratt membantu membuang drainase, meningkatkan penyembuhan luka dan mengurangi risiko infeksi.
4.      Tutup balutan dengan plastic bila klien menggunakan pispot atau terjadinya inkontinensia.
4.      Mencegah kontaminasi pada amputasi tungkai.
5.      Buka punting terhadap udara, pencucian dengan sabun ringan dan air setelah pembalutan bila ada indikasi.
5.      Mempertahankan kesebrsihan, meminimalkan kontaminasi kulit dan meningkatkan penyembuhan kulit yang lunak/kulit rapuh.
6.      Awasi tanda vital.
6.      Peningkatan suhu dan takikardi dapat menunjukkan terjadinya sepsis.
Kolaborasi
7.      Kultur luka/drainase dengan tepat
7.      Mengidentifikasi adanya infeksi/organism khusus.
8.      Berikan antibiotik sesuai indikasi
8.      Antibiotik spectrum luas dapat digunakan secara profilaksis atau terapi antibiotic mungkin disesuaikan terhadap organism penyebab.


4.      Risiko tinggi perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan edema jaringan, hematoma, penurunan aliran darah vena/arteri
Tindakan
Rasional
1.      Pantau tanda vital, palpasi nadi perifer, perhatikan kekuatan dan kesamaan.
1.      indikator umum status sirkulasi dan keadaan perfusi.
2.      Lakukan pengkajian neurovascular periodik, nasal sensasi, gerakan, nadi, warna kulit, dan suhu.
2.      Edema jaringan pascaoperasi, pembentukan hematoma atau balutan terlalu ketat dapat menggangu sirkulasi pada sisi tungkai (punting), yang dapat mengakibatkan nekrosis jaringan.
3.      Inspeksi balutan/drainase, perhatikan jumlah, dan karakteristik balutan.
3.      Kehilangan darah terus-menerus mengindikasikan kebutuhan untuk menggantikan cairan dan evaluasi gangguan koagulasi atau intervensi bedah untuk elastic ligasi pembedahan.
4.      Berikan tekanan langsung pada sisi perdarahan, bila terjadi perdarahan hubungi dokter.
4.      Tekanan langsung pada perdarahan dapat diteruskan dengan penggunaan balutan serat pengaman, balutan elastic bila perdarahan terkontrol.
5.      Evaluasi tungkai bwah yang tidak dioperasi dari adanya inflamasi, tanda Hormon.
5.      Peningkatan insiden pembentukan thrombus pada klien penyakit vascular perifer sebelumnya/perubahan diabetic.
6.      Berikan cairan IV/produk darah sesuai order.
6.      Mempertahankan volume sirkulasi untuk memaksimalkan perfusi jaringan.
7.      Gunakan kaus kaki antiembolitik unutk kaki yang tidak dioperasi.
7.      Meningkatkan aliran darah balik vena, menurunkan thrombus tanpa peningkatan risiko perdarahan pascaoperasi/pembentukan hematoma.
8.      Pantau pemeriksaan laboratorium:
-          Hb/Ht.

-          PT/APTT
8.      Hasil pemeriksaan laboratorium berguna:
-          Indikator hipovolemia/dehidrasi yang dpat mengganggu perfusi jaringan.
-          Mengevaluasi kebutuhan/efektivitas terapi antikoagulan dan mengidentifikasi terjadinya komplikasi.



























DAFTAR PUSTAKA


Lukman & Nurna Ningsih. 2013. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuahan Keperawatan Klien Dengan Gangguan SistemMuskuloskeletal. Jakarta: EGC








0 comments: