ASKEP AMPUTASI
A. PENDAHULUAN
Fraktur adalah masalah
yang akhir-akhir ini sangat banyak menyita perhatian masyarakat, pada arus
mudik dan arus balik hari raya idulfitri tahun ini banyak terjadi kecelakaan
lalu lintas yang sangat banyak yang sebagian korbannya mengalami fraktur.
Banyak pula kejadian alam yang tidak terduga yang banyak menyebabkan fraktur.
Sering kali untuk penanganan fraktur ini tidak tepat mungkin dikarenakan
kurangnya informasi yang tersedia contohnya ada seorang yang mengalami fraktur,
tetapi karena kurangnya informasi untuk menanganinya Ia pergi ke dukun pijat,
mungkin karena gejalanya mirip dengan orang yang terkilir.
Umunya fraktur
disebabkan oleh trauma atau aktivitas fisik di mana terdapat tekana yang
berlebihan pada tulang. Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki daripada
perempuan dengan umur di bawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga,
pekerjaan atau luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor.
Jumlah korban
kecelakaan lalu lintas di Indonesia cenderung turunan, yaitu 47.401 orang pada
tahun 1989, menjadi 32.815 orang pada tahun 1995. Rasio jumlah korban cedera
sebesar 16,80 per 10.000 penduduk dan rasio korban meninggal sebesar 5,63 per
100.000 penduduk. Anhka kematian tertinggi berada di wilayah Kalimantan Timur,
yaitu 11,07 per 100.000 penduduk dan terendah di Jawa Tengah, yaitu sebesar
2,67 per 100.000 penduduk (Depkes, 1996).
B. PENGERTIAN
Banyak sekali batasan
yang dikemukakan oleh para ahli tentang fraktur. Fraktur menurut Smeltzer
(2002) adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya. Demikian pula menurut Sjamsuhidayat (2005), fraktur atau patah tulang
adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulangdan/atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Sementara Doenges (2000) memnerikan batasan,
fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Farktur adalah patah tulang,
biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Price, 1995). Sedangkan
fraktur menurut Reeves (2001), adalah setiap retak atau patah pada tulang yang
utuh.
Berdasarkan batasan di
atas dapat disimpulkan bahwa, fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang,
retak atau patahnya tulang yang utuh, yang biasanya disebabkan oleh
trauma/rudapaksa atau tenaga fisik yang ditentukan jenis dan luasnya trauma.
C. ETIOLOGI
Farktur disebakan oleh
pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan putir mendadak, dan bahkan kontraksi
otot ektrem (Smeltzer, 2002). Umumnya farktur disebabkan oleh trauma di mana
terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang. Fraktur cenderung tarjadi pada
laki-laki, biasanya fraktur terjadi pada umur di bawah 45 tahun dan sering
berhubungan dengan olahraga, pekerjaan, atau luka yang disebabkan oleh
kecelakaan kendaraan bermotor. Sedangkan pada orang tua, perempuan lebih sering
mengalami fraktur dari pada laki-laki yang berhubungan dengan meningkatnya
insiden osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon pada menopsuse
(Reeves, 2001).
D. PREVALENSI
Farktur lebih sering
terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan umur di bawah 45 tahun dan
sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau kecelakaan. Sedangkan pada
usia lanjut (Usila) prevalensi cenderung lebih banyak terjadi pada wanita
berhubungan dengan adanya osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon.
E. KLASIFIKASI FRAKTUR
Ada lebih dari 150
klasifikasi fraktur, pada table 3.1 dapat dilihat beberapa klasifikasi fraktur
menurut beberapa ahli. Fraktur tertutup (fraktur simple) adalah fraktur yang
tidak menyebabkan robekan kulit atau kulit tidak ditembus oleh fragmen tulang.
Sedangkan terbuka (fraktur kompleks/komplikata/compound) merupakan fraktur
dengan luka pada kulit atau membran mukosa sampai ke patahan tulang. Konsep
penting yang harus diperhatikan pada fraktur terbuka adalah apakah terjadi
kontaminasi oleh lingkungan pada tempat
terjadinya fraktur tersebut (price, 1995).
Tabel 3.1 Klasifikasi Fraktur
|
Price (1995)
|
Sjamsuhidayat (1996)
|
Doenges (2000)
|
Reeves (2001)
|
Smeltzer (2002)
|
|
Tranversal
|
Tertutup
|
Incomplete
|
Tertutup
|
Komplit
|
|
Oblik
|
Terbuka
|
Complete
|
Terbuka
|
Tidak komplit
|
|
Spiral
|
Fisura
|
Tertutup
|
Komplit
|
Tertutup
|
|
Segmental
|
Serong
|
Terbuka
|
Retrak tak komplit
|
Terbuka
|
|
Impaksi
|
Sederhana
|
Patoligis
|
Oblik
|
Greenstick
|
|
Patoligik
|
Lintang
|
|
Spiral
|
Transversal
|
|
Greenstick
|
Sederhana
|
|
Tranversal
|
Oblik
|
|
Avulsi
|
Kominutif
|
|
Segmental
|
Spiral
|
|
Sendi
|
Segmental
|
|
Kominutif
|
Kominutif
|
|
Beban lainnya
|
Dahan hijau
|
|
|
Depresi
|
|
|
Kompresi
|
|
|
Kompresi
|
|
|
Impaksi
|
|
|
Patologik
|
|
|
Impresi
|
|
|
Avulsi
|
|
|
Patologis
|
|
|
Efipiseal
|
|
|
|
|
|
Impaksi
|
Sumber: dimodifikasi dari Price (1995),
Sjamsuhidayat (1997), Doenges (2000), Reeves (2001), dan Smeltzer (2002).
Sehingga fraktur
terbuka terbagi dalam beberapa gradasi. Gradasi fraktur terbuka dibagi menajdi
tiga; grade I dengan luka bersih kurang dari 1 cm panjangnya; grade II luka
lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif; dan grade III sangat
terkontaminasi serta mengalami kerisakan jaringan lunak ekstensif; merupakan
yang paling berat (Smeltzer, 2002).
Fraktur komplit adalah patah pada
seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran (bergeser dari
posisi normal). Sebaliknya fraktur tidak komplit terjadi ketika tulang yang
patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.
Berdasarkan klasifikasi
Price (1995), klasifikasi patah tulang ditinjau menurut sudut patah terdiri
atas fraktur transversal, fraktur oblik, dan fraktur spiral. Fraktur
transversal adalah fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu
panjang tulang. Pada fraktur semacam ini, segmen-segmen tulang yang patah
direposisi atau direduksi kenbali ke tempat semula, maka segmen-segmen itu akan
stabil, dan biasanya mudah dikontrol denga bidai gips. Fraktur oblik adalah
fraktur yang garis patahnya membentuk sudut terhadap tulang. Fraktur ini tidak
stabil dan sulit di perbaiki. Sedangkan spiral adalh fraktur meluas yang
menbgelilingi tulang (Reeves, 2001). Fraktur memuntir biasanya terjadi di
seputar batang tulang (Smeltzer, 2002), timbul akibat torsi pada ektremitas dan
merupakan jenis fraktur rendah energy yang hanya menimbulkan sedikit kerusakan
jaringan lunak serta cenderung cepat sembuh dengan imobilisasi luar (Price,
1995).
Fisura, disebabkan oleh
beban lama atau trauma ringan yang terus-menerus yang disebut fraktur
kelelahan, misalnya diafisis metatarsal (Sjamsuhidayat, 1997). Fraktur impaksi
adalah fraktur dimana fragmen tulang tulang terdorong kef ragmen tulang
lainnya. Sedangkan fraktur kompresi adalah fraktur di mana antara dua tulang
mengalami kompresi pada tulang ketiga yang berada di anataranya (terjadi pada
tulang belakang).
Table. 3.2 derajat Patah Tulang Terbuka
|
Derajat
|
Luka
|
Fraktur
|
|
I
|
Laserasi < 2 cm
Laserasi < 1 cm, dengan luka
Bersih
|
Sederhana
Dislokasi
Fragmen minimal
|
|
II
|
Laserasi > 2 cm, kontusi otot
Di sekitarnya
|
Disloaksi
Fragmen jelas
|
|
III
|
Luka lebar
Rusak hebat atau hilangnya jaringan
disekitarnya, terkontaminasi
|
Komunitif
Segmental
Fragmen tulang ada yang hilang
|
Sumber; Sjamsuhidayat, 1997
Farktur komunitif
adalah fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa bagian serpihan-serpihan
dimana terdapat lebih dari dua fragmen tulang. Sementara fraktur segmental
adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang yang men yebabkan terpisahnya
segmen sentral dari suplai darahnya. Untuk fraktur yan gtidak sempurna, di mana
salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya membengkok dan sering terjadi
pada anak-anak, dinamakan fraktur Greenstick.
Faraktur yang ditandai dengan
tertariknya fregmen tulang oleh ligament atau tendon pada perlekatannya disebut
fraktur avulasi. Fraktur patologis adalah fraktur yang terjadi pada daerha pada
daerah tulang yang berpenyakit karena terjadinya penurunan densitas tulang
seperti kista tulabg, penyakit piaget, metastasis tulang, tumor.
F. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis
fraktur adalah nyeri, hiangnya fungsi, deformitas, pemendekan ektremitas,
krepitus, pembengkakan local, dan perubahan warna (Smeltzer, 2002). Gejala umum
fraktur menurut Reeves (2001) adalah rasa sakit, pembengkakan, dan kelainan
bentuk.
Table 3.3 Perkiraan waktu Imobilisasi
yang Dibutuhkan untuk penyatuan
|
Fraktur
|
Lamanya (minggu)
|
|
Falang (jari)
|
3 – 5
|
|
Metakarpal
|
6
|
|
Karpal
|
6
|
|
Skafoid
|
10 (atau sampai terlihat penyatuan
pada Sinar-X)
|
|
Radisu dan ulna
|
10 – 12
|
|
Humerus:
|
|
|
Suprakondiler
|
3
|
|
Batang
|
8 – 12
|
|
Proksimal (impaksi)
|
3
|
|
Proksimal (dengan pergeseran)
|
6 – 8
|
|
Klavikula
|
6 – 10
|
|
Vertebra
|
16
|
|
Pelvis
|
6
|
|
Femur:
|
|
|
Intrakapsuler
|
24
|
|
Intratrokhanterik
|
10 -12
|
|
Batang
|
18
|
|
Suprakondiler
|
12 – 15
|
|
Tibia:
|
|
|
Proksimal
|
8 – 10
|
|
Batang
|
14 – 20
|
|
Maleolus
|
6
|
|
Kalkaneus
|
12 – 16
|
|
Metatarsal
|
6
|
|
Falang (jari kaki)
|
3
|
Sumber: Smeltzer S.C., dan Bare B.G.,
2002.
G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan
Kedaruratan
Bila dicurigai adanya
fraktur, penting untuk melakukan imobilisasi bagian tubuh segera sebelum klien
dipindahkan. Bila klien mengalami cedera, sebelum dapat diakukan pembidaian, ektremitas
harus disangga di atas samping di bawah tempat pertahanan untuk mencegah
gerakan rotasi maupun angulasi. Pembidaian sangat penting untuk mencegah
kerusakan jaringan lunak oleh fragmen tulang.
Gerakan fragmen patahan
tulang dapat menyebabkan timbulnya rasa nyeri, kerusakan jaringan lunak, dan
perdarahan lebih lanjut. Nyeri yang terjadi karena fraktur yang sangat berat
dapat dikurangi dengan menghindari fragmen tulang. Daerah yang vedera
diimobilisasi dengan memasang bidai sementara dengan bantalan yang memadai, dan
kemudian dibebat dengan kencang namun tetap harus memperhatikan nadi perifer.
Imobilisasi tulang panjang ektremitas bawah dapat juga dilakukan dengan
membebat ke dua tungkai bersama, denagn ektremitas yang sehat bertindak sebagai
bidai bagi ektremitas yang cedera.
Luka ditutup dengan
pembalutan steril (bersih) untuk mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam
pada luka terbuka. Jangan sekali-kali melakukan reduksi fraktur, bahkan bila
ada fragmen tulang yang keluar melalui luka/menembus kulit. Evaluasi klien
dengan lengkap. Pakaian dilepas dengan lembut, diawali dari bagian tubuh yang
sehat dan dilanjutkan pada Ektremitas sebisa mungkin jangan sampai digerakkan
untuk mencegah kerusakan jaringan lunak lebiih lanjut.
Pertolongan pertama pada penderita patah
tulang di luar rumah sakit adalah sebagai berikut:
a.
Jalan napas
Bila penderita tak sadar, jalan
napas dapat tersumbat karena lidahnya sendiri yang jatuh ke dalam faring,
sehingga menutup jalan napas atau adanya sumbatan oleh lender, darah, muntahan
atau benda asing. Untuk mengatasi keadaan ini, penderita dimiringkan sampai
tengkurap. Rahang dan lidah ditarik ke depan dan bersihkan faring dengan
jari-jari.
b.
Perdarhan pada luka
Cara yang paling efektif dan paling
aman adalah dengan meletakkan kainyang bersih (kalau bias steril) yang cukup
tebal dan dilakukan penekanan dengan tangan atau dibalut dengan verban yang
cukup menekan. Torniket sendiri mempunyai kelemahan dan bahaya. Kalau dipasang
terlalu kendur menyebabkan perdarahan vena berlebihan. Kalau dipasang terlalu
kuat dan terlalu lama dapat menyebabkan kerusakan saraf dan pembuluh darah.
Dalam melakukan penekanan atau pembebatan pada daerah yang mengalami
perdarahan, harus diperhatkan denyut nadi perifer, serta pengisian kapiler
untuk mencegah kematian jaringan.
c.
Syok.
Pada suatu kecelakaan kebanyakan
syok yang terjadi adalah syok hemoregik. Syok bias terjadi bila orang
kehilangan darahnya ± 30% dari volume darahnya. Pada fraktur femur tertutup
orang dapat kehilangan darahnya 1000 – 1500 cc.
Empat tanda syok yang dapat terjadi
setelah trauma adalah sebagai berikut.
1.
Denyut nadi lebih dari 100 x/menit.
2.
Tekanan sistolik kurang dari 100 mmHg
3.
Wajah dan kuku menajdi pucat atai
sianotik
4.
Kulit tangan adna kaki dingin.
Gejala-gejala
lain dapat berupa sakit (bukan gejala yang dominan), otot-otot menjadi lunak, timbul
rasa haus, pernapasan menjadi cepat dan dalam, serta kesadaran normal, apatis
atau koma.
Paling
baik untuk mengatasi syok karena perdarahan adalah diberikan darah, (transfuse
darah), sedangkan cairan lainnya seperti plasma, dextra, dan lain-lain kurang
tepat karena tidak dapat menunjukkan perbaikan karena tidak ada sel darah yang
sanagt diperlukan untuk transportasi oksigen.
d.
Fraktur dan dislokasi
Fraktur dan
dislokasi dari anggota gerak harus dilakukan imobilisasi sebelum pendedrita
dibawa ke rumah sakit. Guna bidai selain untuk imobilisasi atau mengurangi
sakit, juga untuk mencegah kerusakan jaringan lunak yang lebih parah. Pada
fraktur/dislokasi servikal dapat dipergunakan gulungan kain tebal atau bantalan
pasir yang diletakkan di sebelah kanan dan kiri kepala. Pada tulang belakang
cukup diletakkan di alas keras. Fraktur/dislokasi di daerah bahu atau lengan
atas cukup diberikan sling (mitella).
Untuk lengan bawah dapat dipakai papan dan bantalan kapas. Fraktur femur atau
dislokasi sendi panggul dapat dipakai Thomas splint atau papan panjang dipasang
yang dari aksila sampai pedis dan difiksasi dengan tungkai sebelah yang normal.
Fraktur tungkai bawah dan lutut dapat dipakai papan ditambah bantalan kapas
dari pangkal paha sampai pedis. Untuk trauma di daerah pedis dapat dipakai
bantalan pedis.
Penatalaksanaan Fraktur Terbuka
Patah tulang terbuka
memerlukan pertolongan segera. Penundaan waktu dalam memberikan pertolongan
akan mengakibatkan komplikasi infeksi karena adanya pemaparan dari lingkungan
luar. Waktu yang optimal untuk melaksanakan tindakan sebelum 6 – 7 jam kecelakaan, disebut golden Period.
Secara klinis patah tulang terbuka
dibagi menjadi tida derajat (Pusponegoro A.D., 2007), yaitu:
Derajat I :
terdapat luka tembus kecil seujung jari, luka ini di dapat dari tusukan
fragmen- fragmen tulang dari dalam.
Derajat II :
luka lebih besar disertai dengan kerusakan kulit subkutis. Kadang-kadang
ditemukan adanya benda-benda asing di sekitar luka.
Derajat III :
luka lebih besar dibandingkan dengan luka pada derajat II. Kerusakan lebih
hebat karena sampai mengenai tendon dan otot-otot saraf tepi.
Pada luka derajat I
biasanya tidak mengalami kerusakan kulit, sehingga penutupan kulit dapat
ditutup secara primer. Namun pada derajat II, luka lebih besar dan bila
dipaksakan menutup luka secara primer akan terjadi tegangan kulit. Hal ini akan
mengganggu sirkulasi bgian distal. Sebaiknya luka dibiarkan terbuka dan luka
ditutup setelah 5- 6 hari (delayed
primary suture).untuk fisasi tulang pada derajat II dan III paling baik
menggunakan fisasi eksterna. Fiksasi ekstrena yang sering dipakai adalah Judet, Roger Anderson, dan Methyl
Methacrylate. Pamakaian gips masih dapat diterima, bila peralatan tidak
ada. Namun, kelemahan pemakaian gips adalah perawatan yang lebih sulit.
Salah satu tindakan
untuk fraktur terbuka yaitu dilakukan debdridement. Debdridemen bertujuan untuk
membuat keadaan luka yang kotor menajdi bersih, sehingga secara teoritis fraktur
tersebut dapat dianggap fraktur tertutup. Namun secara praktis, hal tersebut
tidak pernah tercapai. Tindakan debdridemen dilakukan dalam anestesi umum dan
selalu harus disertai dengan pencucian luka dengan air yang steril/NaCl yang
mengalir.
Pencucian ini memegang peranan penting
untuk membersih kotoran-kotoran yang menempel pada tulang.
Pada fraktur terbuka
tidak boleh dipasang torniket, hal ini penting untuk menentukan batas jaringan
yang vital dan nekrotik. Daerah luka dicukur rambutnya, dicuci dengan detergen
yang lunak (missal physohex), sabun biasa dengan sikat lamanya kira-kira 10
menit, dan dicuci dengan air mengalir: dengan siraman air mengalir diharapkan
kotoran-kotoran dapat terangkat mengikuti aliran air.
Tindakan pembedahan berupa eksisi pinggir
luka, kulit, subkutis, fasia, dan otot-otot nekrosis yang kotor. Fragemen
tulang yang kecil dan tidak memengaruhi stabilitas tulang dibuang. Fragmen yang
cukup beasar tetap dipertahankan.
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1.
Pemeriksaan Rontgen: menentukan
lokasi/luasnya fraktur/trauma, dan jenis fraktur.
2.
Scan tulang, tomogram, CT Scan/MRI:
memperlihatkan tingkat keparahan fraktur, juga dapat untuk mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak.
3.
Arteriogram: dilakuakan bila dicurigai
adanya kerusakan vascular.
4.
Hitung darah lengkap: Ht mungkin
meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur
atau organ jauh pada multiple trauma). Peningkatan jumlah SDP adalah proses
stress normal setelah trauma.
5.
Kreatinin: trauma otot meningkat beban
kreatinin untuk klirens ginjal.
6.
Profil koagulasi: perubahan dapat
terjadi pada kehilangan darah, tranfusi multiple atau cedera hati.
ASUHAN
KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN
FRAKTUR
A. Pengkajian
Tanda : keterbarasan gerak/kehilangan fungsi
motorik pada bagian yang terkena (dapat
segera atau sekunder, akibat pembengkakan/nyeri).
Adanya kesulitan dalam
istirahat-tidur akibat dari nyeri.
Tanda : hipertensi (kadang-kadang terlihat
sebagai respon terhadap nyeri/ansietas) atau hipotensi (hipovolemia).
Takikardi (respon stress,
hipovolemia).
Penurunan atau tak teraba nadi
distal, pengisian kapiler lambat (capillary
refill), kulit dan kuku pucar/sianotik.
Pembengkakan jaringan atau
massa hematoma pada sisi cedera.
Gejala : hilang gerak/sensasi, atau spasme otot
Kebas/kesemutan (parestesi)
Tanda
: deformitas local, angolasi
abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi, spasme otot, kelemahan/hilang fungsi.
Angitasi berhubungan dengan
nyeri, ansietas, trauma lain.
Gejala : nyeri berat tiba-tiba saat cedera
(mungkin terlokalisasi pada area jaringan/kerusakan tulang, dapat berkurang
pada imobilisasi), tak ada nyeri akibat kerusakan saraf.
Spasme/kram otot (setelah
imobilisasi).
Tanda
: laserasi kulit, avulasi jaringan,
perdarahan, dan perubahan warna kulit.
Pembengkakan local (dapat meningkat secara
bertahap atau tiba-tiba).
DIAGNOSA
DAN RENCANA KEPERAWATAN
1.
Risiko tinggi trauma tambahan
berhubungan dengan kerusakan neurovascular, tekanan dan disuse.
|
Tindakan
|
Rasional
|
|
Mandiri
1.
Pertahankan tirah baring sesuai
indikasi. Berikan sokongan sendi di atas dan di bawah fraktur bia
bergerak/membalik.
|
1.
Meningkatkan stabilitas,
menurunkan kemungkinan gangguan posisi/penyembuhan.
|
|
2.
Letakkan papan di bawah tempat
tidur atau tempatkan klien pada tempat tidur ortopedik.
|
3.
Tempat tidur lembut atau lentur
dapat membuat deformasi gips yang masih basah, mematahkan gips yang sudah
kering atau memengaruhi dengan penarikan traksi.
|
|
Gips/Bebat
3.
Sokong fraktur dengan
bantal/gulungan selimut. Pertahankan posisi netral pada bagian yang sakit
dengan bantal pasir, pembebat, gulungan trokanter atau papan kaki.
|
3.
Mencegah gerakan yang tak perlu
dan perubaha posisi. Posisi yang tepat dar bantal juga dapat mencegah tekanan
deformitas pada gips yang kering.
|
|
4.
Tugaskan petugas yang cukup untuk
membalik klien. Hindari menggunakan papan abduksi untuk membalik klien dengan
gips spika.
|
4.
Gips panggul/tubuh multiple dapat
membuat berat dan tidak praktis secara ekstrem. Kegagalan untuk menyokong
ekstremitas yang di gips dapat menyebabkan gips patah.
|
|
5.
Evaluasi pembebat ekstremitas
terhadap resolusi edema
|
5.
Pembebat koaptasi (misalnya
jepitan Jones-Sugar) mungkin digunakan untuk memberikan imobilisasi fraktur
di mana edema jaringan berlebihan. Seiring dengan berkurangnya edema,
penilaian kembali pembebat atau penggunaan gips plester mungkin diperlukan
untuk mempertahankan kesejajaran fraktur.
|
|
Traksi
6.
Pertahankan posisi/integritas
traksi (missal, Buck, Dunlop, Pearson, Russel).
|
6.
Traksi memungkinkan tarikan pasa
aksis panjang fraktur tulang dan mengatasi tegangan otot/pemendekan untuk
memudahkan posisi/penyatuan. Traksi tulang (pen, kawat, jepitan) memungkinkan
penggunaan berat lebih besar untuk penarikan traksi daripada digunakan untuk
jaringan kulit.
|
|
7.
Yakinkan semua klem berfungsi.
Member minyak pada katrol dan periksa tali terhadap tegangan. Amankan dan
tutup ikatan dengan plester pereka.
|
7.
Meyakinkan bahwa susunan traksi
berfungsi dengan tepat untuk menghidari interupsi penyambungan fraktur.
|
|
8.
Pertahankan katrol tidak
terhambat dengan beban bebas menggantung, hindari mengangkt/menghilangkan
berat.
|
8.
Jumlah beban traksi optimal
dipertahankan
|
|
9.
Bantu meletakkan beban di bawah
roda tempat tidur bila ada indikasi
|
9.
Membantu ketepatan posisi klien
dan fungsi traksi dengan memberikan keseimbangan timbal balik.
|
|
10. Kaji
ulang tahanan yang mungkin timbul karena terapi, contoh pergelangan tidak
menekuk
|
10. Mempertahankan
integritas tarikan traksi
|
|
11. Kaji
integritas alat fiksasi eksterna
|
11. Traksi
Hoffman memberikan stabilisasi dan sokongan kaku untuk tulang fraktur tanpa
menggunakan katrol, tali atau beban, memungkinkan mobilitas/kenyamanan klien
lebih besar dan memudahkan perawatan luka.
|
|
Kolaborasi
12. Kaji
ulang/evaluasi foto
|
12. Memberikan
bukti visual mulainya pembentukan kalus/proses penyembuhan untuk menentukan
tingkat aktivitas dan kebutuhan perubahan/tambahan terapi.
|
|
13. Berikan/pertahanan
stimulasi listrik bila digunakan.
|
13. Mungkin
diindikasikan untuk meningatkan pertumbuhan tulang pada keterlambatan
penyembuhan/tidak menyatu.
|
2.
Nyeri berhubungan dengan spasme otot,
gerakan fragmen tulang, cedera pada jaringan lunak, stress, ansietas, alat
traksi atau imobilisasi.
|
Tindakan
|
Rasional
|
|
Mandiri
1.
Pertahankan imobilisasi bagian
yag sakit denga tirah baring, gips, pembebat.
|
1.
Mengurangi nyeri dan mencegah
kesalahan posisi tulang/tegangan jaringan yang cedera.
|
|
2.
Tinggikan ekstremitas yang sakit
|
2.
Meningkatkan aliran balik vena,
mengurangi edema, dan mengurangi nyeri
|
|
3.
Hindari penggunaan sprei/bantal
plastic di bawah ekstremitas dalam gips.
|
3.
Meningkatkan kenyamanan karena
peningkatan produksi panas dalam gips yang kering.
|
|
4.
Tinggikan penutup tempat tidur,
pertahankan linen terbuka pada ibu jari kaki.
|
4.
Mempertahankan kehangatan tubuh
tanpa ketidaknyamanan karena tekanan selimut pada bagian yang sakit.
|
|
5.
Evaluasi nyeri; loaksi,
karakteristik, intensitas (skala 0-10). Perhatikan petunjuk nyeri nonverbal
(perubahan tanda vital dan emosi/prilaku)
|
5.
Memengaruhi efektifitas
intervensi. Tingkat ansietas dapat memengaruhi persepsi/reaksi terhadap
nyeri.
|
|
6.
Dorong klien untuk mengekresikan
masalah berhubungan dengan cedera
|
6.
Membantu mengatasi ansietas.
Klien dapat merasakan kebutuhan untuk menghilangkan pengalaman kecelakaan.
|
|
7.
Jelaskan prosedur sebelum memulai
tindakan
|
7.
Memungkinkan klien untuk siap
secara mental dalam melakukan aktivitas, dan berpatisipasi dalam mengontrol
tingkat ketidaknyamanan.
|
|
8.
Berikan obat sebelum perawatan
latihan/aktivitas
|
8.
Meningkatkan relaksasi otot dan
partisipasi klien.
|
|
9.
Lakukan dan awasi latihan rentang
gerak pasif/aktif.
|
9.
Mempertahankan kekuatan/mobilitas
otot yang sakit dan memudahkan resolusi inflamasi pada jaringan yang cedera.
|
|
10. Berikan
alternative tindakan kenyamanan, seperti pijatan punggung, perubahan posisi.
|
10. Meningkatkan
sirkulasi umum, menurunkan area tekanan local dan kelelahan otot.
|
|
11. Dorong
penggunaan manajemen stress, seperti relaksasi progresif, latihan napas
dalam, imajinasi visualisasi, sentuhan terapeutik.
|
11. Memfokuskan
kembali perhatian, meningkatkan rasa control, dan dapat meningkatkan
kemampuan koping dalam manajemen nyeri, yang mungkin menetap untuk peride
yang lama.
|
|
12. Identifikasi
aktivitas terapeutik yang tepat unutk usia klien, kemampuan fisik, dan
penampilan pribadi.
|
12. Mencegah
kebosanan, menurunkan tegangan, meningkatkan kekuatan otot, dan dapat
meningkatkan harga diri dan kemampuan koping klien.
|
|
13. Observasi
adanya keluhan nyeri yang tidak biasa, tiba-tiba atau dalam, lokasi progresif
atau buruk tidak hilang dengan analgesic.
|
13. Dapat
mengindikasikan terjadinya komplikasi, seperti infeksi, iskemia jaringan,
sindrom kompartemen.
|
|
Kolaborasi
14. Lakukan
kompres dingin 24 – 48 jam pertama sesuai kebutuhan
|
14. Menurunkan
edema atau pembentukan hematon, menurunkan sensasi nyeri.
|
|
15. Berikan
obat sesuai order: narkotik dan analgesic non-narkotik, NSAID. Berikan
narkotik sesuai order selama 3 – 5 hari.
|
15. Untuk
menurunkan nyeri dan atau spasme otot.
|
|
16. Berikan/awasi
analgesic yang dikontrol klien
|
16. Pemberian
rutin mempertahankan kadar analgesic darah secara adekuat, mencegah fluktuasi
dalam menghilangkan nyeri akibat spasme/tegangan otot.
|
3.
Kurang keperawatan diri berhubungan
dengan hilangnya kemampuan menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari.
|
Tindakan
|
Rasional
|
|
Mandiri
1.
Dorong klien mengekspresikan
perasaan dan mendiskusikan cederadan masalah yang berhubungan dengan cedera.
Dengarkan secara aktif.
|
1.
Fraktur memengaruhi kemampuan
seseorang melakukan aktivitas sehari-hari seperti kehilangan pekerjaan,
perubahan gaya hidup.
|
|
2.
Motivasi penggunaan mekanisme
maslah secara adaftid.
|
2.
Penghentian mendadak rutinitas dan
rencana memerlukan mekanisme penyelesaian masalah.
|
|
3.
Libatkan orang yang berarti dan
layanan dukungan bila diperlukan
|
3.
Orang lain dapat membantu klien
melakukan aktifitas sehari-hari.
|
|
4.
Modifikasi lingkungan rumah bila
diperlukan.
|
4.
Akomodasi untuk penatalaksanaan
di rumah mungkin diperlukan untuk meningkatkan perawatan diri dan keamanan.
|
|
5.
Dorong klien berpatisipasi dalam
pengembangan program terapi.
|
5.
Klien mampu memperoleh kembali
kemandirian dengan partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan rencana
terapi.
|
|
6.
Jelaskan berbagai program terapi
|
6.
Pendidikan dan pemahaman klien
dapat meningkatkan kepatuhan.
|
|
7.
Dorong partisipasi aktivitas
sehari-hari dalam batasan terapeutik.
|
7.
Rasa harga diri dapat
ditingkatkan dengan aktivitas perawtan diri.
|
|
8.
Ajarkan pengguna modalitas terapi
dan bantuan mebilisasi secara aman. Lakukan supervise agar pemakaian
terjamin.
|
8.
Cedera akibat penggunaan
modalitas atau alat bantu mobilisasi dapat dicegah melalui pendidikan.
|
|
9.
Evaluasi kemampuan klien untuk
melakukan perawatan diri dirumah; merencanakan regimen terapi; nmengenali
risiko masalah; mengenali situasi yang tidak aman, dan meneruskan supervise
kesehatan.
|
9.
Meyakinkan kemampuan klien untuk
menangani fraktur di rumah. Kekurangan pengetahuan dan persiapan perawatan
diri yang buruk di rumah menyumbang terjadinya ansietas dan ketidaksiplinan
terhadap program terapi.
|
4. Risiko tinggi terhadap infeksi
|
Tindakan
|
Rasional
|
|
1.
Inspeksi kulit dari adanya
iritasi atau robekan kontinuitas
|
1.
Pin
kawat
tidak harus dimasukkan melalui kulit yang terinfeksi, kemerahan atau abrasi
dan dapat menimbulkan infeksi.
|
|
2.
Kaji sisi “pin”/kawat,
perhatikan keluhan peningkatan
nyeri/rasa terbakar atatu adanya edema, eritema, drainase/bau tak enak.
|
2.
Dapat mengindikasikan timbulnya
infeksi local/nekrosis jaringan, yang dapat menimbulkan osteomielitis.
|
|
3.
Lakukan perawtan pin atau kawat
steril sesuai protocol dan mencuci tanagn
|
3.
Mencegah kontaminasi kesempatan
untuk kontaminasi
|
|
4.
Instruksikan klien untuk tidak
menyentuh sisi insersi.
|
4.
Meminimalkan kesempatan untuk
pertumbuhan bakteri.
|
|
5.
Tutupi pada akhir gips partineal
dengan palstik.
|
5.
Gips yang lembab, padat
meningkatkan pertumbuhan bakteri.
|
|
6.
Observasi luka dari pembentukan
bula, krepitasi, perubahan warna kulit kecoklatan, bau drainase tidak enak.
|
6.
Tanda perkiraan infeksi gas
gangrene.
|
|
7.
Kaji tonus otot, reflex tendon
dalam dan kemampuan berbicara.
|
7.
Kekuatan otot, spasme tonus otot
rahang, dan disfagia menunjukkan terjadinya tetanus.
|
|
8.
Selidiki adanya nyeri
tiba-tiba/keterbatasan gerak dengan edema local/eritema ekstremitas cedera
|
8.
Mengindikasikan terjadinya
osteomielitis.
|
|
9.
Lakukan prosedur isolasi
|
9.
Adanya drainase purulen akan
memerlukan kewaspadaan luka/linen untuk mencegah kontaminasi silang.
|
|
Kolaborasi
10. Awasi
pemeriksaan laboratorium seperti:
·
Hitung darah lengkap
·
LED
·
Kultur dan sensitivitas
luka/serum/tulang.
·
Scan radioisotop
|
10. Memantau
hasil pemeriksaan laboratorium
·
Anemia dapat terjadi pada
osteomielitis, leukositosis biasanya ada proses infeksi.
·
Meningkat pada osteomielitis
·
Mengidentifikasi orgasme penyebab
infeksi.
·
Titik panas menunjukkan
peningkatan area vaskularitas, indikasi osteomielitis.
|
|
11. Berikan
obat sesuai order:
·
Antibiotic IV/topical
·
Tetanus toksoid
|
11. Obat
sesuai order:
·
Antibiotic spectrum luas dapat
digunakan secara profilaksis atau ditunjukan pada mikroorganisme khusus
·
Prifilaksis karena kemungkinan
adanya tetanus pada luka terbuak
|
|
12. Irigasi
luka/tulang dan berikan sabun bsah/hangat sesuai indikasi
|
12. Dedridemen
local/pembersihan luka mengurangi mikroorganisme dan insiden infeksisistemik.
|
|
13. Siapkan
pemebedahan sesuai prosedur
|
13. Sequestrektomi
(pengangkatan tulang nekrotik) diperlukan untuk membantu penyembuhan dan
mencegah perluasan proses infeksi.
|
A.
PENDAHULUAN
Footner (1992),
mengemukakan enam puluh persen amputasi dilakukan kepada klien dengan usia di
atas 60 tahun, dan umunya akibat iskemia (kematian jaringan). Amputasi
digunakan untuk menghilangkan gejala, memperbaiki fungsi, dan menyelamatkan atau
memperbaiki kualitas hidup klien.
B.
PENGERTIAN
Amputasi adalah
pengangkatan/pemotongan sebagian anggota tubuh/anggota gerak yang disebabkan
oleh adanya trauma, gangguan peredaran darah, osteomielitis, kanker (PSIK FKUI,
1996). Amputasi adalah pengangkatan melalui bedah/traumatic pada tungkai
(Doenges, 2000). Dalam kamus kedokteran Dorland, amputation memotong atau mengangkas, pembuangan suatu anggota badan
atau suatu penumbuhan dari badan.
Dengan melihat beberapa pengertian di
atas, dapat disimpulkan bahwa amputasi adalah
pengangkatan/pemotongan/pembuangan sebagai anggota tubuh/anggota gerak yang
disebabkan oleh adanya trauma, gangguan peredaran darah, osteomielitas, dan
kanker melalui proses pembedahan.
C.
ETIOLOGI
Penyakit vascular
perifer progresif (sering terjadi sebagai gejala sisa diabetes mellitus),
gangrene, trauma, (cedera remuk, luka, bakar), deformitas congenital, atau tumr
ganas. Penyakit vaskuler prefer merupakan penyebab tertinggi amputasi
eksteremitas bawah (smeltzer 2002). Foother (1992) mengemukakan alasan
diperlukannya amputasi terjadi pada penyakit vascular perifer, trauma,
neoplasma malignan (misalnya steosarkoma), infeksi (misalnya infeksi akut:
gangguan ,infeksi kronik; osteomilitis), deformitas, dan paralisis. Secara umum
penyebab amputasi menurut doenges (2000) adalah kecelakaan, penyakit, dan
gangguan congenital.
Berdasarkan pendapat diatas, dapat di
simpulkan penyebab amputasi adalah penyaki vascular perifer, infeksi, trauma,
deformitas, tumor ganas, dan paralisis.
D.
PAKTOR YANG MEMPEGARUHI
Klien yang memerlukan
amputasi usia muda dan lansia. Amputasi yang terjadi pada muda biasanya akibat
terauma eksteremitas berat, sedangkan pada lansia biasanya karena penyakit
vascular perifer. Usia muda dapat melalui prose penyembuhan dengan cepat, dan
segera berpartisipasi dalam program rehabilitasi, namun, klien memerlukan
banyak dukungan pisikologis untuk menerima perubahan mendadak terkait citra
diri klien dan menerima stress akibat hospitalasi, rehabilitas jangka panjang,
dan penyesuaian jangka panjang, dan penyesuaian gaya hidup yang berubah, klien
juga memerlukan waktu untuk mengatasi perasaan yang permanen. Reaksi klien
susah diduga dan dapat berupa reaksi marah, depresi, berduka disfungsional,
isolasi social dan bermusuhan.
Pada lansia dengan
penyakit vascular perifer sering diiringi dengan masalah kesehatan lain,
seperti diabetes militus dan arteriosklarosis. Amputasi yang sudah lama dapat
menghilangkan klien dari nyeri, disebilitas, dan ketergantungan. Dan berbeda
dengan orang muda, lansia sudah siap mengatasi perasaannya dan siap menerimaa
ampitasi. Rehabilitas psikologik dan fisiologik dimulai sebelum amputasi
dilaksanakan. Namun, kemajuan rehabilitas mugkin terhambat akibat kelainan
kardiovaskuler, respirasi atau neurologik yang diderita oleh lansia.
E.
TINGKAT DAN BATAS AMPUTASI
Batas amputasi
ditentukan oleh luas dan jenis penyakit. Batas amputasi pada cedera ditentukan
oleh peredaran darah yang adekuat, batas amputasi pada tumor malingna
ditentukan oleh daerah bebas tumor dan bebas resiko kekambuhan lokal. Sedangkan
pada penyakit pembuluh darah ditentukan oleh vaskularisasi sisa ekstremitas dan
daya sembuh luka sisa tungkai (puntung). (sjamsuhidajat, 2005).
F.
KOMPLIKASI
Pendarahan, infeksi,
dan kerusakan kulit merupakan komplikasi amputasi. Pendarahan terjadi akibat
pemotongan pembuluh darah besar dan dapat menjadi masif. Infeksi dapat terjadi
pada semua pembedahan, dengan peredaran darah yaqng buruk atau adanya
kontaminasi serta dapat terjadi kerusakan kulit akibat penyembuhan luka yang
buruk dan iritasi penggunan prosthesis. Menurut pusdiknakes (1995), komplikasi
yang dapat terjadi pada amputasi adalah infeksi, nyeri phantom(phantom limp-pain), neuroma, dan fleksi kontraktor.
Berdasarkan pendapat
diatas dapat disimpulkan bahwa komplikasi yang dapat terjadi pada amputasi
adalah perdarahan, infeksi, nyeri phantom,
neuroma, kerusakan kulit, dan fleksi kontraktor.
G.
PENATALAKSANAAN
Tujuan utama pembedahan
adalah mencapai penyembuhan amputasi, menghasikan sisa tungkai (puntung) yang
tidak nyeri tekan dengan kulit yang untuk penggunaan prosthesis. Lansia mungkin
mengalami keterlambatan penyembuhan, dan nutrisi yang buruk dan masalah
kesehatan lain. Percepatan penyembuhan dapat dilakukan dengan penanganan yang
lembut terhadap sisa tungkai, pengontrolan tungkai, pengontrolan tungkai dengan
balutan kompres lunak atau rigid, dan menggunakan teknik aseptic dalam
keperawatan lika dalam menghidari infeksi.
1.
Balutan Rigid Tertutup
Digunakan untuk
mendapatkan kompresi yang merata, menyangga jaringan lunak dan mengontrol
nyeri, serta mencegah kontraktur. Segera setelah pembedahan balutan gips rigid
dipasang dan dilengkapi tempat memasang ekstensi prosthesis sementara (pylon) dan kaki buatan. Pasang kaos kaki
steril pada sisi steril, dan bantalan dipasang pada daerah peka tekanan. Sisa
tungkai (punting) kemudian dibalit dengan gips elastis yang ketika mengeras
akan memberikan tekanan yang merata. Gips diganti sekitar 10 – 14 hari. Bila
terjadi peningkatan suhu tubuh, nyeri berat atau gips mulai melonggar harus
segera diganti.
2.
Balutan Lunak
Balutan lunak dengan
atau kompres dapat digunakan bila diperlukan inspeksi berkala sisa tungkai
(putung) sesuai kebutuhan. Bidai imobilisasi dapat dibalutkan pada balutan.
Hematoma putung dikontrol dengan alat drainase
luka untuk meminimalkan infeksi.
3.
Amputasi Bertahap
Amputasi bertahap
dilakukan bila ada gangren atau infeksi. Pertama-tama dilakukan amputasi guillotine untuk mengangkat semua
jaringan nekrosis dan sepsis. Luka didebridemen dan dibiarkan mongering. Sepsis
ditangani dengan antibiotik. Dalam beberapa hari, bila infeksi telah terkontrol
dan klien telah stabil, dilakukan amputasi definitif dengan penutupan kulit.
4.
Prostesis
Prostesis sementara
kadang diberikan pada hari pertama pascabedah, sehingga latihan segera dapat
dimulai. Keuntungan menggunakan prostesis sementara adalah membiasakan klien
menggunakan prostesis sedini mungkin. Kadang prostesis darurat baru diberikan
setelah satu minggu luka menyembuh tanpa penyulit. Pada amputasi karena
penyakit pembuluh darah, prostesis sementara diberikan setelah empat minggu.
Prostesis bertujuan untuk menggantikan
bagian ekstremitas yang hilang. Artinya defek system musculoskeletal harus
diatasi, termasuk defek faal. Pada ekstremitas bawah, tujuan prostesis ini
sebagian besar dapat dicapai. Sebaliknya untuk ekstremitas atas, tujuan itu
sulit dicapai, bahkan dengan tangan mioelektrik canggih yang bekerja atas
sinyal mioelektrik dari otot sisep dan trisep.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN
DENGAN AMPUTASI
PENGKAJIAN
Gejala : keterbatasan/antisipasi yang dimungkinkan oleh
kondisi/amputasi
Gejala :
masalah tentang antisipasi perubahan pola hidup, situasi finansial, reaksi
orang lain, perasaan putus asa, tidak
berdaya.
Tanda : ansietas, ketakutan, sensitive, marah, menarik diri,
kecerian semu.
Gejala : masalah tentang keintiman hubungan dengan pasangan.
Gejala : masalah sehubungan dengan penyakit.
Masalah
tentang peran-fungsi, reaksi orang lain, gangguan konsep diri.
PEMERISAAN
DIAGNOSTIK
1.
Foto Rontgen : mengidentifikasi
abnormalitas tulang.
2.
CT Scan: mengidentifikasi lesi
neoplastik, osteomielitis, pembentukan hematoma
3.
Angiografi dan pemeriksaan aliran:
mengevaluasi perubahan sirkulasi/perfusi jaringan dan membantu memperkirakan
potensi penyembuhan jaringan setelah amputasi.
4.
Ultrasound Doppler, Flowmetri Doppler:
dilakukan untuk mengkaji dan mengukur aliran darah.
5.
Tekanan O2 transkutaneus:
member peta pada area perfusi paling besar dan paling kecil dalam keterlibatan
ekstremitas.
6.
Termografi: mengukur perbedaan suhu pada
tungkai iskemik di dua sisi, dari jaringan kutaneus ke tengah tulang. Perbedaan
yang rendah anatara dua pembecaan, makin besar untuk sembuh.
7.
Plestismografi: mengukur TD segmental
bawah terhadap ekstremitas bawah mengevaluasi aliran darah arteri.
8.
LED: peningkatan mengidentifikasi
respons inflamasi.
9.
Kultur luka: mengidentifikasi adanya
infeksi dan organism penyebab.
10. Biopis:
mengonfirmasi diagnosis massa begnigna/meligna.
11. Hitung
darah lengkap/diferensial: peninggian dan pergeseran ke kiri diduga proses
infeksi.
DIAGNOSA
DAN PERENCANAAN KEPERAWTAN
1.
Nyeri (akut) berhbungan dengan cedera
fisik/jaringan dan trauma saraf.
|
Tindakan
|
Rasional
|
|
Mandiri
1.
Catat lokasi, frekuensi dan
intensitas nyeri (skala 0 – 10). Amati perubahan karakteristik nyeri, missal
kebas, kesemutan.
|
1.
Membantu dalam evaluasi kebutuhan
dan keefektifan intervensi. Perubahan dapat mengindikasikan terjadinya
komplikasi, misal nekrosis/infeksi.
|
|
2.
Tinggikan bagian yang sakit
dengan meninggikan tempat tidur atau menggunakan bantal/guling sebagai
penyangga.
|
2.
Mengurangi terbentuknya edema
dengan peningkatan aliran balik vena, mengurangi kelelahan otot dan terkena
pada kulit/jaringan.
|
|
3.
Tingkatkan kenyamanan klien
(missal rubah posisi sesering mungkin, pijatan punggung). Dorong penggunaan
teknik manajemen stress, (misal napas dalam, visualisasi)
|
3.
Memfokuskan kembali perhatian,
meningkatkan relaksasi, meningkatkan kemampuan koping, dan dapat menurunkan
terjadinya nyeri.
|
|
4.
Berikan pijatan lembut pada sisa
tungkai (putung) sesuai toleransi bila balutan telah dilepas.
|
4.
Meningkatkan sirkulasi,
mengurangi ketegangan otot.
|
|
5.
Amati keluhan nyeri yang tidak
hilang dengan analgesic.
|
5.
Dapat mengindikasikan sindrom
kompartemen, khusus cedera traumatic.
|
|
Kolabirasi
6.
Berikan obat sesuai indikasi,
misal analgesic, relaksasi otot
|
6.
Mengurangi nyeri/spasme otot.
|
|
7.
Berikan pemanasan lokasi sesuai
indikasi.
|
7.
Mungkin diperlukan unutk
meningkatkan relaksasi otot, sirkulasi dan membantu perbaikan edema.
|
2.
Gangguan harga diri/citra diri,
penampilan peran berhubungan dengan kehilangan bagian tubuh.
|
Tindakan
|
Rasional
|
|
Mandiri
1.
Kaji/pertimbangkan persiapan
klien dan pandangannya terhadap amputasi
|
1.
Klien yang memandang amputasi
sebagai rekontraksi hidup akan menerima diri yang baru dengan cepat. Klien
dengan amputasi traumatic mempertimbangkan amputasi sebagai kegagalan dan
berada pada risiko tinggi gangguan konsep diri
|
|
2.
Dorong klien mengekspresikan
ketakutan, perasaan negatif, dan kehilangan bagian tubuh.
|
2.
Ekspresikan perasaan membantu
klien memulai menerima kenyataan dan realitas hidup tanpa tungkai.
|
|
3.
Beri penguatan informasi
pascaoperasi termasuk tipe/lokasi amputasi, tipe protese, harapan setelah
operasi, tindakan setelah operasi termasuk control nyeri dan rehabilitasi.
|
3.
Memberikan kesempatan untuk
menanyakan dan mengasimilasi informasi dan mulai menerima perubahan gambaran
diri dan fungsi, yang dapat membantu penyembuhan..
|
|
4.
Kaji system pendukung (support system) dukungan orang lain
yang ada untuk klien.
|
4.
Dukungan yang cukup dari orang
yang terdekat dan teman dapat membangtu proses rehabilitasi.
|
|
5.
Diskusikan persepsi klien tentang
diri dan hubungan dengan perubahan dan bagaimana klien melihat dirinya dalam
pola/peran fungsi yang biasanya.
|
5.
Membantu mengartikan masalah
sehubungan dengan pola hidup sebelumnya dan membantu pemecahan masalah. Sebagai
contoh takut kehilangan kemandirian, kemampuan bekerja, dan sebagainya.
|
|
6.
Dorong partisipasi klien dalam
aktivitas sehari-hari. Berikan kesempatan untuk memandang/merawat sisa
tungkai (punting), dan menunjukkan tanda positif penyembuhan.
|
6.
Meningkatkan kemandirian dan perasaan harga diri.
Meskipun penyatuan sisa tungkai dalam gambaran diri dapat memerlukan waktu
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Melihat sisa tungkai dan mendengar
pernyataan positif dapat membantu klien dalam menerima.
|
|
7.
Dorong/berikan kunjungan oleh
orang yang diamputasi, khususnya orang yang telah berhasil dalam
rehabilitasi.
|
7.
Teman senasib yang telah
mengalami hal yang sama bertindak sebagai model peran dan dapat memberikan
keabsahan pernyataan, juga harapan untuk pemulihan dan masa depan normal.
|
|
8.
Berikan lingkungan yan terbuka
pada klien untuk mendiskusikan masalah tentang seksualitas.
|
8.
Meningkatkan pernyataan
keyakinan/nilai tentang subjek positif dan mengidentifikasi kesalahan
konsep/mitos yang dapat memengaruhi penilaian situasi.
|
|
9.
Perhatikan perilaku menarik diri,
membicarakan hal negative dari diri, menyangkal atau terus menerus melihat
perubahan nyata (amputasi).
|
9.
Mengidentifikasi tahap
berduka/kebutuhan untuk intervensi.
|
|
10. Diskusikan
tersedianya berbagai sumber, misal konseling psikiatrik/seksual, terapi
kejujuran.
|
10. Membantu
adaptasi lanjut yang optimal dan rehabilitasi.
|
3.
Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan
ketidakadekuatan pertahanan primer (kulit robek, jaringan traumatic).
|
Tindakan
|
Rasional
|
|
Mandiri
1.
Pertahankan teknik antiseptic
bila mengganti balutan/merawat luka.
|
1.
Meminimalkan kesempatan
introduksi bakteri.
|
|
2.
Inspeksi balutan dan luka,
perhatikan karakteristik drainase.
|
2.
Deteksi dini terjadinya infeksi
memberikan kesempatan unutk intervensi tepat waktu dan mencegah komplikasi
lebih serius (misal osteomielitis).
|
|
3.
Pertahankan patensi dan
pengosongan alat drainase secara rutin.
|
3.
Hemovac, drain Jackson-Pratt
membantu membuang drainase, meningkatkan penyembuhan luka dan mengurangi
risiko infeksi.
|
|
4.
Tutup balutan dengan plastic bila
klien menggunakan pispot atau terjadinya inkontinensia.
|
4.
Mencegah kontaminasi pada
amputasi tungkai.
|
|
5.
Buka punting terhadap udara,
pencucian dengan sabun ringan dan air setelah pembalutan bila ada indikasi.
|
5.
Mempertahankan kesebrsihan,
meminimalkan kontaminasi kulit dan meningkatkan penyembuhan kulit yang
lunak/kulit rapuh.
|
|
6.
Awasi tanda vital.
|
6.
Peningkatan suhu dan takikardi
dapat menunjukkan terjadinya sepsis.
|
|
Kolaborasi
7.
Kultur luka/drainase dengan tepat
|
7.
Mengidentifikasi adanya
infeksi/organism khusus.
|
|
8.
Berikan antibiotik sesuai
indikasi
|
8.
Antibiotik spectrum luas dapat
digunakan secara profilaksis atau terapi antibiotic mungkin disesuaikan
terhadap organism penyebab.
|
4.
Risiko tinggi perubahan perfusi jaringan
perifer berhubungan dengan edema jaringan, hematoma, penurunan aliran darah vena/arteri
|
Tindakan
|
Rasional
|
|
1.
Pantau tanda vital, palpasi nadi
perifer, perhatikan kekuatan dan kesamaan.
|
1.
indikator umum status sirkulasi
dan keadaan perfusi.
|
|
2.
Lakukan pengkajian neurovascular
periodik, nasal sensasi, gerakan, nadi, warna kulit, dan suhu.
|
2.
Edema jaringan pascaoperasi,
pembentukan hematoma atau balutan terlalu ketat dapat menggangu sirkulasi
pada sisi tungkai (punting), yang dapat mengakibatkan nekrosis jaringan.
|
|
3.
Inspeksi balutan/drainase,
perhatikan jumlah, dan karakteristik balutan.
|
3.
Kehilangan darah terus-menerus
mengindikasikan kebutuhan untuk menggantikan cairan dan evaluasi gangguan
koagulasi atau intervensi bedah untuk elastic ligasi pembedahan.
|
|
4.
Berikan tekanan langsung pada
sisi perdarahan, bila terjadi perdarahan hubungi dokter.
|
4.
Tekanan langsung pada perdarahan
dapat diteruskan dengan penggunaan balutan serat pengaman, balutan elastic
bila perdarahan terkontrol.
|
|
5.
Evaluasi tungkai bwah yang tidak
dioperasi dari adanya inflamasi, tanda Hormon.
|
5.
Peningkatan insiden pembentukan
thrombus pada klien penyakit vascular perifer sebelumnya/perubahan diabetic.
|
|
6.
Berikan cairan IV/produk darah
sesuai order.
|
6.
Mempertahankan volume sirkulasi
untuk memaksimalkan perfusi jaringan.
|
|
7.
Gunakan kaus kaki antiembolitik
unutk kaki yang tidak dioperasi.
|
7.
Meningkatkan aliran darah balik
vena, menurunkan thrombus tanpa peningkatan risiko perdarahan
pascaoperasi/pembentukan hematoma.
|
|
8.
Pantau pemeriksaan laboratorium:
-
Hb/Ht.
-
PT/APTT
|
8.
Hasil pemeriksaan laboratorium
berguna:
-
Indikator hipovolemia/dehidrasi
yang dpat mengganggu perfusi jaringan.
-
Mengevaluasi
kebutuhan/efektivitas terapi antikoagulan dan mengidentifikasi terjadinya
komplikasi.
|
DAFTAR
PUSTAKA
Lukman & Nurna Ningsih. 2013. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuahan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
SistemMuskuloskeletal. Jakarta: EGC






0 comments:
Post a Comment