BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Bencana alam yang berkepanjangan di dunia termasuk di
Indonesia sepanjang tahun 2010, disebabkan oleh faktor alam yang berbeda.
Dampak bencana alam tidak hanya mengakibatkan hilangnya harta benda tetapi juga
nyawa masyarakat di wilayah bencana. Berdasarkan data dari 644 kejadian bencana
di Indonesia total kerugian material diperkirakan mencapai lebih 15 trilyun rupiah.
Kerugian tersebut meliputi kehilangan harta benda, kerusakan rumah-rumah
masyarakat, sarana dan prasarana umum, lahan pertanian, perkebunan, peternakan,
dan sebagainya. Selain itu juga menimbulkan kehilangan orang yang dicintai,
trauma, dan timbuln ya gangguan kesehatan (Nugroho, 2010).
Profesi keperawatan bersifat luwes dan mencakup segala kondisi, dimana
perawat tidak hanya terbatas pada pemberian asuhan dirumah sakit saja melainkan
juga dituntut mampu bekerja dalam kondisi siaga tanggap bencana. Situasi
penanganan antara keadaan siaga dan keadaan normal memang sangat berbeda,
sehingga perawat harus mampu secara skill dan teknik dalam menghadapi
kondisi seperti ini.
Kegiatan pertolongan medis dan perawatan dalam keadaan siaga bencana dapat
dilakukan oleh profesi keperawatan. Berbekal pengetahuan dan kemampuan
yang dimiliki seorang perawat bisa melakukan pertolongan siaga bencana dalam
berbagai bentuk.
Dalam penulisan makalah ini akan dijelaskan pentingnya peran perawat dalam
asuhan keperawatan dengan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pasca bencana alam.
1.2
Tujuan
Penulisan
1.2.1
Tujuan umum
Mampu melaksanakan asuhan keperawatan dengan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pasca bencana alam.
1.2.2
Tujuan khusus
1.
Mampu menjelaskan konsep teori Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pasca bencana alam .
2.
Mampu melakukan pengkajian pada klien yang mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pasca bencana alam.
3.
Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada klien yang
mengalami Post Traumatic
Stress Disorder (PTSD) pasca bencana alam.
4.
Mampu membuat rencana tindakan asuhan keperawatan pada
klien yang mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pasca bencana alam.
5.
Mampu menerapkan rencana yang telah disusun pada klien
yang mengalami Post Traumatic
Stress Disorder (PTSD) pasca bencana alam.
6.
Mampu mengevaluasi klien yang mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pasca bencana alam.
1.3 Manfaat
Penulisan
1. Dapat
memahami konsep teori Post
Traumatic Stress Disorder (PTSD) pasca bencana alam.
2. Dapat
memahami patofisiologi Post Traumatic
Stress Disorder (PTSD) pasca bencana alam sehingga bisa menimbulkan masalah
keperawatan.
3. Dapat
memahami asuhan keperawatan pada pasien dengan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pasca bencana alam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi
Bencana adalah sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh
faktor alam dan/ atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis (Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Ps 1). Bencana menimbulkan trauma psikologis bagi semua orang yang mengalaminya.
Post traumatic stress disorder (PTSD) merupakan gangguan kecemasan yang dapat terjadi setelah mengalami
atau menyaksikan suatu peristiwa traumatis. PTSD dapat terjadi secara akut
(gejala berlangsung <3 bulan), kronis (gejala berlangsung> 3 bulan), atau
onset tertunda (selang 6 bulan dari acara untuk onset gejala).
Banyak korban menunjukkan gejala terjadinya PTSD segera sesudah terjadinya
bencana, sementara sebagian lainnya baru berkembang gejala PTSD beberapa bulan
ataupun beberapa tahun kemudian. Pada sebagian kecil orang, PTSD dapat menjadi
suatu gangguan kejiwaan yang kronis dan menetap beberapa puluh tahun bahkan
seumur hidup.
2.2
Patofisiologi
2.2.1 Biologis
Beberapa penelitian menunjukan bahwa bagian otak yang
bertanggung jawab untuk mendeteksi rasa takut dan mempersipapkan diri untuk
kejaidan darurat (amigdala) adalah kunci dari PTSD, ditunjukan bahwa pengalaman yang traumatik dapat
merangsang bagian tersebut untuk menimbulkan rasa takut yang dalam terhadap
kondisi-kondisi yang mungkin menyebabkan kembalinya pengalaman traumatik tersebut. Amigdala dan berbagai struktur lainnya seperti hipotalamus,
bagian abu-abu otak dan nukleus, mengaktifkan neurotransmiter dan endokrin untuk menghasilkan hormon-hormon
yang berperan dari berbagai gejala PTSD. Bagian otak depan (frontal) sebenarnya
berfungsi untuk menghambat aktivasi rangkaian ini, walaupun begitu pada
penelitian terhadap
orang-orang yang mengalami PTSD, bagian ini mengalami kesulitan untuk
menghambat aktivasi system amigdala.
Amigdala menerima informasi berupa rangsangan eksternal. Hal ini kemudian
memicu respon emosional termasuk “fight, flight, or freezing" dan
perubahan dalam hormon stress dan katekolamin. Hipokampus dan korteks
prefrontal medial mempengaruhi respon amigdala dalam menentukan respon
ketakutan akhir. Ketika kita dalam keadaan takut dan terancam, tubuh kita
mengaktifkan respon fight or flight. Dalam reaksi ini tubuh mengeluarkan
adrenalin yang menyebabkan peningkatan tekanan darah, denyut jantung, glikogenolisis. Setelah ancaman bahaya itu mulai hilang
makatubuh akan memulai proses inaktivasi respon stress dan proses ini
menyebabkan pelepasan hormon kortisol. Jika tubuh tidak melepaskan kortisol
yang cukup untuk menginaktivasi reaksi stress maka kemungkinan kita masih akan
merasakan efek stress dari adrenalin.
Pada korban trauma yang berkembang menjadi PTSD seringkali memiliki hormon
stimulasi (katekolamin) yang lebih tinggi bahkan pada saat kondisi normal. Hal
ini mengakibatkan tubuh terus berespon seakan bahaya itu masih ada. Setelah
sebulan dalam kondisi ini, di mana hormon stres meningkat pada akhirnya
menyebabkan terjadinya perubahan fisik. Beberapa studi telah menemukan
konsentrasi kortisol rendah orang dengan post-traumatic stress disorder dan
berlawanan menanggapi penindasan deksametason tes daripada yang terlihat dengan
depresi berat.
2.2.2 Psikososial
Pengalaman hidup yang dialami seseorang sepanjang
hidupnya juga merupakan salah satu penyebab terjadinya PTSD. Pengalaman hidup
ini mencakup pengalaman yang dialami dari masa kecil sampai dengan dewasa.
Selain itu pengalaman hidup yang dialami, jumlah dan tingkat keparahan
peristiwa traumatik yang dialami oleh individu tersebut juga memberikan
pengaruh. Smith dan Segal menyebutkan peristiwa traumatik yang dapat mengarah
kepada munculnya PTSD termasuk bencana alam ( natural disaster ), kecelakaan
mobil atau pesawat, penyerangan fisik, prosedur medikal terutama pada anak –
anak.
Faktor psikologis lain yang ikut berkontribusi
adalah faktor yang dibawa oleh individu dari lahir, yaitu sifat bawaan atau
yang sering disebut dengan kepribadian seseorang juga merupakan penyebab
terjadinya PTSD.
Pengalaman pada masa lalu bisa menyebabkan
seseorang menderita PTSD. Pengalaman masa lalu terkait pengalaman pada masa
anak-anak, seperti menjadi korban kekerasan seksual, perpisahan dengan orang
tua pada usia dini, perceraian, bahkan kemiskinan. Kurangnya support sosial
juga salah satu faktor yang bisa menimbulkan PTSD, disfungsi keluarga merupakan
faktor yang menyebabkan terjadinya PTSD.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
aspek psikososial yang menyebabkan terjadinya PTSD adalah pengalaman hidup yang
terkait dengan trauma, sifat bawaan atau kepribadian individu tersebut, dan
kurangnya support sosial. Faktor-faktor tersebut merupakan penyebab timbulnya
PTSD jika dilihat dari faktor psikososial dari in dividu yang mengalami trauma.
PATHWAY
Post-Traumatic
Stress Disorder

2.3
Gejala Utama PTSD
Gejala utama PTSD terbagi menjadi tiga, yaitu:
a.
Re-experience
phenomena
1.
Munculnya
kembali perasaan tertekan atau terancam baik dalam imajinasi, pikiran ataupun
persepsi.
2.
Munculnya
mimpi-mimpi yang menakutkan.
3.
Adanya reaksi psikologis yang merupakan
simbol/ terkait dengan peristiwa trauma.
4.
Adanya reaksi
fisik yang merupakan simbol/ terkait dengan peristiwa trauma.
b.
Avoidance or
numbing reaction
1.
Menghindari
pikiran, perasaan atau pembicaraan yang berkaitan dengan peristiwa traumatic.
2.
Menghindari
kegiatan, tempat atau orang-orang yang terkait dengan trauma.
3.
Ketidakmampuan
untuk mengingat aspek penting dari trauma.
4.
Berkurangnya
minat atau partisipasi dalam kegiatan yang terkait.
5.
Kekakuan
perasaan atau ketidakmampuan mengekspresikan perasaan seperti kasih sayang.
6.
Kehilangan
harapan seperti tidak memiliki minat terhadap karir, perkawinan, keluarga atau
kehidupan jangka panjang.
c.
Symptoms of
increased arousal: peningkatan gejala distress
Adapun kriterianya adalah :
1.
Seseorang
biasanya mengalami atau dihadapkan pada ancaman yang serius termasuk bencana,
kematian, kecelakan luar biasa, ancaman fisik terhadap diri maupun orang lain.
2.
Individu
mengalami kondisi ketakutan, tidak berdaya dan selalui dihantui oleh peristiwa
tersebut. Pada kasus anak sering terjadi perilaku yang disorganized atau
agitasi. Jika kedua kriteria tersebut muncul maka dapat dilakukan pengelompokan
gejala kedalam tiga gejala utama tadi.
2.4
Fase-fase PTSD
Fase-fase keadaan mental pasca bencana:
a.
Fase Kritis
Fase dimana terjadi gangguan stres pasca akut
(dini/cepat) yangmana terjadi selama kira-kira kurang dari sebulan setelah
menghadap bencana. Pada fase ini kebanyakan orang akan mengalami gejala-gejala
depresi seperti keinginan bunuh diri, perasaan sedih mendalam, susah tidur,dan
dapat juga menimbulkan berbagai gejala psikotik.
b.
Fase setelah
kritis
Fase dimana telah terjadi penerimaan akan keadaan yang dialami dan
penstabilan kejiwaan, umumnya terjadi setelah 1 bulan hingga tahunan setelah
bencana, pada fase ini telah tertanam suatu mindset yang menjadi suatu
phobia/trauma akan suatu bencana tersebut (PTSD) sehingga bila bencana tersebut
terulang lagi, orang akan memasuki fase ini dengan cepat dibandingkan
pengalaman terdahulunya.
c.
Fase stressor
Fase dimana terjadi perubahan kepribadian yang berkepanjangan (dapat
berlangsung seumur hidup) akibat dari suatu bencana dimana terdapat dogma
“semua telah berubah”.
Periode bencana menurut Rice (1999):
a.
Periode Impak.
Hanya berlangsung selama kejadian bencana. Pada periode ini, korban selalu
diliputi perasaan tidak percaya dengan apa yang dialami. Periode ini selalu
berlangsung singkat.
b.
Periode penyejukan
suasana (Recoil period)
Berlangsung beberapa hari selepas kejadian. Pada periode ini, tampak bahwa
para korban mulai merasakan diri mereka lapar dan mencari bekal makanan untuk
dimakan. Mereka tidak memahami bagaimana mereka harus memulihkan keadaan dan
mengganti harta benda mereka yang hilang.
c.
Periode post
traumatic (Recovery period)
Berlangsung lama, bahkan sepanjang hayat. Periode ini berlangsung tatkala
korban bencana berjuan untuk melupakan pengalaman yang terjadi berupa tekanan,
gangguan fisiologi, dan psikologi akibat bencana yang mereka alami.
2.5
Dampak PTSD
Gangguan stress pasca traumatik ternyata dapat mengakibatkan sejumlah
gangguan fisik, kognitif, emosi, behavior (perilaku), dan sosial.
a.
Gejala gangguan
fisik :
1.
Pusing.
2.
Gangguan
pencernaan.
3.
Sesak napas.
4.
Tidak bisa
tidur.
5.
Kehilangan
selera makan.
6.
Impotensi, dan
sejenisnya.
b.
Gangguan
kognitif :
1.
Gangguan pikiran
seperti disorientasi.
2.
Mengingkari
kenyataan.
3.
Linglung.
4.
Melamun
berkepanjangan.
5.
Lupa.
6.
Terus menerus
dibayangi ingatan yang tak diinginkan.
7.
Tidak fokus dan
tidak konsentrasi.
8.
Tidak mampu
menganalisa dan merencanakan hal-hal yang sederhana.
9.
Tidak mampu
mengambil keputusan.
c.
Gangguan emosi
:
1.
Halusinasi dan
depresi (suatu keadaan yang menekan, berbahaya, dan memerlukan perawatan aktif
yang dini).
2.
Mimpi buruk.
3.
Marah.
4.
Merasa bersalah.
5.
Malu.
6.
Kesedihan yang
berlarut-larut.
7.
Kecemasan dan
ketakutan.
d.
Gangguan
perilaku :
Menurunnya aktivitas fisik, seperti gerakan tubuh yang minimal. Contoh,
duduk berjam-jam dan perilaku repetitif (berulang-ulang).
e.
Gangguan sosial:
1.
Memisahkan diri
dari lingkungan
2.
Menyepi
3.
Agresif
4.
Prasangka
5.
Konflik dengan
lingkungan
6.
Merasa ditolak
atau sebaliknya sangat dominan.
2.6
Penatalaksanaan Medis
a. Farmakologi
1. Terapi anti depresan: Obat yang biasa digunakan adalah benzodiazepin,
litium, camcolit dan zat pemblok beta– seperti propranolol, klonidin, dan
karbamazepin. Dosis contoh, estazolam 0,5-1 mg per os, Oksanazepam10-30 mg per
os, Diazepam (valium) 5-10 mg per os, Klonaz-epam 0,25-0,5 mg per os, atau
Lorazepam 1-2 mg per os atau IM.
2. Antiansietas: alprazolam digunakan untuk mengatasi depresi dan panik pada
pasien PTSD, buspirone dapat meningkatkan serotonin.
b. Non- farmakologi
Psikoterapi yang dapat digunakan dan efektif untuk penanganan PTSD yaitu
dengan Anxiety Management
diamana terapis akan mengajarkan beberapa keterampilan untuk membantu mengatasi
gejala PTSD dengan lebih baik melalui:
1.
Relaxation
training, yaitu belajar mengontrol
ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan merelaksasikan nyaman, bahkan
reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala.
2.
Breathing
retraining, belajar bernafas dengan perut
secara perlahan, santai. Menghindari bernafas tergesa-gesa yang merasakan tidak
nyaman.
3.
Positive
thinking dan self-talk, yaitu
belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran
positif ketika menghadapi hal– hal yang membuat stress (stresor).
4.
Assertiveness
training, yaitu belajar bagaimana
mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang
lain.
5.
Thought
stopping, yaitu belajar bagaimana
mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal-hal yang membuat kita
stress.
6.
Cognitive
therapy, terapis membantu untuk merubah
kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan.
Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi pikiran- pikiran yang tidak
rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk
melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik
untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang.
7.
Exposure
therapy: para terapis membantu
menghadapi situasi yang khusus, orang lain, obyek, memori atau emosi yang
mengingatkan pada trauma dan menimbulkan ketakutan yang tidak realistik dalam
kehidupannya. Terapi dapat berjalan dengan cara: exposure in the imagination,
yaitu bertanya pada penderita untuk mengulang cerita secara detail sampai tidak
mengalami hambatan menceritakan; atau exposure in reality, yaitu membantu
menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin dihindari karena menyebabkan
ketakutan yang sangat kuat.
8.
Terapi bermain
(play therapy) mungkin berguna pada penyembuhan anak dengan PTSD. Terapi
bermain dipakai untuk menerapi anak dengan PTSD. Terapis memakai permainan
untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat
membantu anak lebih merasa nyaman.
2.7
Peran Perawat
Dalam Tanggap Bencana
Pelayanan keperawatan tidak hanya terbatas diberikan pada instansi
pelayanan kesehatan seperti rumah sakit saja. Tetapi, pelayanan keperawatan
tersebut juga sangat dibutuhkan dalam situasi tanggap bencana.
Perawat tidak hanya dituntut memiliki pengetahuan dan kemampuan dasar
praktek keperawatan saja, Lebih dari itu, kemampuan tanggap bencana juga
sangat di butuhkan saaat keadaan darurat. Hal ini diharapkan menjadi bekal bagi
perawat untuk bisa terjun memberikan pertolongan dalam situasi bencana.
Namun, kenyataan yang terjadi di lapangan sangat berbeda, kita lebih banyak
melihat tenaga relawan dan LSM lain yang memberikan pertolongan lebih dahulu
dibandingkan dengan perawat, walaupun ada itu sudah terkesan lambat.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1
Pengkajian
Pengkajian untuk klien dengan PTSD meliputi empat aspek
yang akan bereaksi terhadap stress akibat pengalaman traumatis, yaitu :
a.
Pengkajian
Perilaku ( Behavioral Assessment )
Yang dikaji adalah :
1.
Dalam
keadaan yang bagaimana klien mengalami perilaku agresif yang berlebihan.
2.
Dalam
keadan yang seperti apa klien mengalami kembali trauma yang dirasakan.
3.
Bagaimana
cara klien untuk menghindari situasi atau aktifitas yang akan mengingatkan
klien terhadap trauma.
4.
Seberapa
sering klien terlibat aktivitas sosial.
5.
Apakah
klien mengalami kesulitan dalam masalah pekerjaan semenjak kejadian traumatis.
b.
Pengkajian
Afektif ( Affective Assessment )
1.
Berapa
lama waktu dalam satu hari klien merasakan ketegangan dan perasaan ingin cepat
marah.
2.
Apakah
klien pernah mengalami perasaan panik.
3.
Apakah
klien pernah mengalami perasaan bersalah yang berkaitan dengan trauma.
4.
Tipe
aktivitas yang disukai untuk dilakukan.
5.
Apa
saja sumber - sumber kesenangan dalam hidup klien.
6.
Bagaima
hubungan yang secara emosional terasa akrab dengan orang lain.
c.
Pengkajian
Intelektual ( Intellectual Assessment )
1.
Kesulitan
dalam hal konsentrasi.
2.
Kesulitan
dalam hal memori.
3.
Berapa
frekuensi dalam satu hari tentang pikiran yang berulang yang berkaitan dengan
trauma.
4.
Apakah
klien bisa mengontrol pikiran – pikiran berulang tersebut
5.
Mimpi
buruk yang dialami klien.
6.
Apa
yang disukai klien terhadap dirinya dan apa yang tidak disukai klien terhadap
dirinya.
d.
Pengkajian
Sosiokultural ( Sociocultural Assessment )
1.
Bagaimana
cara keluarga dan teman klien menyampaikan tentang perilaku klien yang menjauh
dari mereka.
2.
Pola
komunikasi antara klien dengan keluarga dan teman.
3.
Apa
yang terjadi jika klien kehilangan kontrol terhadap rasa marahnya.
4.
Bagaimana
klien mengontrol kekerasan terhadap sistem keluarganya.
3.2
Diagnosa
Keperawatan untuk PTSD
1.
Sindrom
pasca trauma berhubungan dengan respon maladaptif berulang terhadap peristiwa
traumatik yang penuh tekanan.
2.
Ketidakberdayaan
berhubungan dengan ketidakmampuan untuk melaksanakan aktifitas sebelumnya.
3.
Ketakutan
berhubungan dengan perubahan fisik.
4.
Ansietas
berhubungan dengan perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap
bahaya..
5.
Koping
defensif berhubungan dengan harapan diri yang tidak realistik.
6.
Koping
keluarga tidak efektif berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua pada usia
dini.
3.3
Tujuan
1.
Sindrom
pasca trauma berhubungan dengan respon maladaptif berulang terhadap peristiwa
traumatik yang penuh tekanan.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien mampu
merespon adaptif terhadap peristiwa trauma yang ia alami.
NOC :
1.
Pemulihan
dari trauma.
2.
Pengendalian impuls: kemampuan untuk menahan diri dari
perilaku impulsive.
2.
Ketidakberdayaan
berhubungan dengan ketidakmampuan untuk melaksanakan aktifitas sebelumnya.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien mampu
melaksanakan aktifitas sebelumnya dengan kriteria hasil sebagai berikut :
NOC
: Kepercayaan Kesehatan
1. Mengungkapkan dengan kata-kaa tentang segala perasaan
ketidakberdayaan.
2. Mengidentifikasi tindakan yang berada dalam kendalinya.
3. Mengungkapkan dengan kata-kata kemampuan untuk
melakukan tindakan yang diperlukan
4. Melaporkan dukungan yang adekuat dari orang dekat,
teman-teman dan tetangga.
3.
Ketakutan
berhubungan dengan perubahan fisik.
Tujuan :
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan pada klien diharapkan ketakutan yang dialami
klien menurun atau menghilang.
NOC : Kontrol ketakutan
1.
Klien mampu mencari informasi untuk menurunkan ketakutan
2.
Klien mampu menghindari sumber ketakutan bila mungkin
3.
Kilin mamapu mengendalikan respon ketakutan
4.
Klien mamapu mempertahankan penampilan peran dan hubungan social
4.
Ansietas
berhubungan dengan perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap
bahaya.
Tujuan :
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan pada klien diharapkan cemas dan stress yang
dialami klien menurun atau menghilang.
NOC : Kontrol cemas
1.
Intensitas kecemasan berkurang atau hilang.
2.
Tidak ditemukan tanda –
tanda kecemasa.
3.
Menunjukkan relaksasi.
4.
Menunjukkan pemecahan masalah dan menggunakan sumber-sumber
secara efektif.
5.
Koping
defensif berhubungan dengan harapan diri yang tidak realistik.
Tujuan
:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien
diharapkan terbentuk koping yang efektif.
NOC:
Koping
1. Koping efektif.
2. Harga diri positif.
3. Keterampilan interaksi sosial positif.
4.
Menyadari
masalah atau konflik
spesifik yang mempengaruhi interaksi atau hubungan sosial.
5. Mengekspresikan perasaan harga diri.
6. Menunjukan penurunan kedefensifan.
6.
Koping
Keluarga tidak efektif berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua pada usia
dini.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien
diharapkan koping keluarga efektif,
dengan kriteria hasil sebagai berikut:
NOC
: Koping Keluarga
1.
Menyadarkan
kebutuhan unit keluarga
2.
Menyadari
kebutuhan pasien
3.
Mulai
menunjukan keterampilan interpersonal secara efektif
4.
Menunjukan
kemampuan untuk menyelesaikan konflik tanpa kekerasan
5.
Mengungkapkan
perasaan yang tidak terselesaikan
6.
Mengidentifikasi
gaya koping yang bertentangan
7.
Berpartisipasi
dalam penyelesaian masalah yang efektif
8. Berpartisipasi dalam perencanaan perawatan
3.4
Intervensi
1.
Sindrom
pasca trauma berhubungan dengan respon maladaptif berulang terhadap peristiwa
traumatik yang penuh tekanan.
NIC :
Konseling :
penggunaan proses bantuan interaktif yang memfokuskan pada kebutuhan, masalah,
atau perasaan pasien dengan orang yang berarti bagi pasien untuk meningkatkan
atau mendukung koping, pnyelesaian masalah dan hubungan interpersonal.
Aktivitas
keperawatan:
1.
BHSP
2.
Tunjukkan empati, kehangatan dan kesejatian
3.
Gunakan teknik refleksi dan klarifikasi untuk
memfasilitasi pengungkapan perasaan.
4.
Hindari membuat keputusan pada saat pasien berada
dalam keadaan stress.
2.
Ketidakberdayaan
berhubungan dengan ketidakmampuan untuk melaksanakan aktifitas sebelumnya.
NIC
I :
1.
Eksplorasi
pencapaian keberhasilan sebelumnya.
2.
Dukung
kekuatan- kekuatan diri yang dapat diidentifikasi oleh pasien.
3.
Sampaikan
kepercayaan diri terhadap kemampuan pasien untuk menangani keadaan.
NIC II : Fasilitasi Tanggung Jawab Diri
1.
Dorong
pengungkapan perasaan, persepsi, dan ketakutan tentang rasa tanggung jawab
2.
Dorong
kemandirian, tetapi bantu pasein jika tidak dapat melakukan.
3.
Ketakutan
berhubungan dengan perubahan fisik.
NIC 1 : Pengurangan ansietas
1.
Sering berikan penguatan positif bila pasien mendemonstrasikan
perilaku yang dapat menurunkan/ mengurangi takut
2.
Tetap bersama pasien selama dalam situasi baru
3.
Gendong atau ayun-ayun anak
4.
Sering berikan penguatan verbal/ non verbal yang dapat membantu
menurunkan ketakutan pasien
NIC 2 : Peningkatan
koping
1.
Gunakan pendekatan yang tenang, meyakinkan
2.
Bantu pasien dalam membangun pemikiran yang objektif terhadap
suatu peristiwa
3.
Tidak membuat keputusan pada saat pasien berada dalam stress berat
4.
Dukung untuk menyatakan perasaan, persepsi, dan ketakutan secara
verbal
5.
Kurangi stimulasi dalam lingkungan yang dapat disalah
interpretasikan sebagai ancaman
4.
Ansietas
berhubungan dengan perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap
bahaya.
NIC : Penurunan kecemasan
1.
Tenangkan klien
2.
Berusaha memahami keadan klien
3.
Temani pasien untuk mendukung keamanan dan menurunkn rasa
takut
4.
Bantu pasien untuk mengidentifikasi situasi yang menciptakan cemas
5.
Dukung penggunaan mekanisme pertahanan diri dengan cara yang tepat
6.
Kaji tingkat kecemasan dan reaksi fisik pada tingkat kecemasan.
7.
Gunakan
pendekatan dan sentuhan, verbalissi untuk meyakinkan pasien
tidak sendiri dan mengajukan pertanyaaan.
8. Sediakan aktivitas untuk menurunkan ketegangan.
9. Instruksikan klien untuk menggunakan teknik relaksasi.
5.
Koping
defensif berhubungan dengan harapan diri yang tidak realistik.
NIC
: Pencapaian Kesadaran Diri
1.
Bantu
pasien untuk mengidentifikasi dampak penyakit terhadap konsep diri
2.
Ungkapkan
secara verbal mengenai pengingkaran pasien terhadap kenyataanb dengan tepat.
3.
Bantu
pasien untuk mendidentifikasi prioritas kehidupan
4. Bantu pasien untuk mengidentifikasi aspek positif pada
dirinya.
6.
Koping
keluarga tidak efektif berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua pada usia
dini.
NIC
: Dukungan Keluarga
1. Tingkatkan harapan yang realistis
2. Dengarkan keluhan, perasaan , dan pertanyaan keluarga
3. Fasilitasi pengkomunikasian keluhan/persaan antra pasien
dan keluarga atau antar anggota keluarga
4. Berikan perawatan kepada pasien selain keluarga untuk
mengurangi beban mereka dab/ atau saat keluarga tidak mampu untuk memberikan
perawatan
5. Berikan umpan balik kepada keluarga yang berkaitan dengan
koping mereka
3.5
Evaluasi
Skala :
1. Tidak pernah dilakukan/menunjukan.
2.
Jarang
dilakukan/menunjukan.
3.
Kadang
dilakukan/menunjukan.
4.
Sering
dilakukan/menunjukan .
5.
Selalu
dilkukan/menunjukan
DP 1 :
Sindrom pasca trauma berhubungan dengan respon maladaptif
berulang terhadap peristiwa traumatik yang penuh tekanan.
NOC :
1.
Pemulihan
dari trauma.
2.
Pengendalian impuls: kemampuan untuk menahan diri dari
perilaku impulsive.
DP 2 :
Ketidakberdayaan berhubungan dengan ketidakmampuan untuk
melaksanakan aktifitas sebelumnya.
NOC
: Kepercayaan Kesehatan
1. Mengungkapkan dengan kata-kaa tentang segala perasaan
ketidakberdayaan.
2. Mengidentifikasi tindakan yang berada dalam
kendalinya.
3. Mengungkapkan dengan kata-kata kemampuan untuk
melakukan tindakan yang diperlukan
4. Melaporkan dukungan yang adekuat dari orang dekat,
teman-teman dan tetangga.
DP 3 :
Ketakutan berhubungan dengan perubahan fisik.
NOC : Ketakutan
dapat di kontrol
1.
Klien mampu mencari informasi untuk menurunkan ketakutan
2.
Klien mampu menghindari sumber ketakutan bila mungkin
3.
Kilin mamapu mengendalikan respon ketakutan
4.
Klien mamapu mempertahankan penampilan peran dan hubungan social
DP 4 :
Ansietas berhubungan dengan perasaan takut yang
disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya.
NOC : Kecemasan
dapat di kontrol
1.
Intensitas kecemasan berkurang atau hilang.
2.
Tidak ditemukan tanda –
tanda kecemasa.
3.
Menunjukkan relaksasi.
4.
Menunjukkan pemecahan masalah dan menggunakan sumber-sumber
secara efektif.
DP 5 :
Koping defensif berhubungan dengan harapan diri yang
tidak realistik.
NOC:
Koping
1. Koping efektif.
2. Harga diri positif.
3. Keterampilan interaksi sosial positif.
4.
Menyadari
masalah atau konflik
spesifik yang mempengaruhi interaksi atau hubungan sosial.
5. Mengekspresikan perasaan harga diri.
6. Menunjukan penurunan kedefensifan.
DP 6 :
Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan
perpisahan dengan orang tua pada usia dini.
NOC
: Koping Keluarga
1.
Menyadarkan
kebutuhan unit keluarga
2.
Menyadari
kebutuhan pasien
3.
Mulai
menunjukan keterampilan interpersonal secara efektif
4.
Menunjukan
kemampuan untuk menyelesaikan konflik tanpa kekerasan
5.
Mengungkapkan
perasaan yang tidak terselesaikan
6.
Mengidentifikasi
gaya koping yang bertentangan
7.
Berpartisipasi
dalam penyelesaian masalah yang efektif
8. Berpartisipasi dalam perencanaan perawatan
BAB
IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Bencana merupakan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh
faktor alam dan/ atau faktor non- alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis. Bencana menimbulkan trauma psikologis bagi
semua orang yang mengalaminya.
Peran
perawat sangatlah penting pada kasus ini. Peran perawat sangat berguna untuk
memberikan asuhan keperawatan yang sesuai dengan standar keperawatan dan kode
etik dalam menangani pasien dengan Post
Traumatic Stress Disorder (PTSD) pasca bencana alam.
Dan
diharapkan kepada pembaca dan penulis bisa lebih memahami materi mengenai
penyakit dengan Post Traumatic
Stress Disorder (PTSD) pasca bencana alam dilihat dari perbandingan data di
lahan dan konsep teori yang sesungguhnya.
4.2
Saran
Kita sebagai
perawat hendaklah menerapkan atau mengaplikasikan asuhan keperawatan dengan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pasca bencana alam
dengan efektif, sehingga dalam memberikan pelayanan bisa
dilakukan secara optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Efendi, Ferry.Keperawatan
Kesehatan Komunitas Teori dan praktik dalam keperawatan. Jakarta. Penerbit Salemba
Medika,2009.
Mursalin.2011.Peran
Perawat Dalam Kaitannya Mengatasi Bencana. Diakses tanggal 5 Mei 2013.
NANDA
Internasional. 2013. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012 –
2014. Jakarta : EGC
Doenges, Marilynn.
2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
http://littleners.blogspot.com/2012/10/post-trauma-syndrom-disorder-ptsd.html.
Diakses tanggal 5 Mei 2013.
http://oknurse.wordpress.com/2009/10/09/stress-dissorder-post-trauma-bencana/.
Diakses tanggal 5 Mei 2013.
Pratiwi,
Anggi. 2010. PTSD (Post Traumatic Stress Disolder). Diakses di www.
Scribd. Com/doc/41221173/askep-PTSD. Pada tanggal 5Mei 2011
Indriani, Novi. 2015. Peran Fungsi Amigdala. Diakses di www.sridianti.com/peran-fungsi-amigdala.html. Pada tanggal 11 September 2015





0 comments:
Post a Comment